Rumah Sakit

7.3K 247 8
                                    

Pernikahan berjalan lancar. Pak Zan tenang karena ia tidak harus menikahi orang yang dia tidak cintai.
"Terimakasih, Na. Saya lega sekarang. Sejujurnya, saya belum siap menikah." Kata Pak Zan sambil menepuk bahu Aina.
"Oh, iya. Saya juga lega bisa membuat sahabat saya bahagia, Pak." Kata Aina.
"Ngomong ngomong, Dziqa mana?" Tanya Pak Zan.
"Dziqa di rumahnya, Pak. Dia bilang dia gak siap harus lihat orang yang dia cintai menikah dengan seseorang." Jawab Aina.
"Kita ke rumahnya saja habis ini.." Ajak Pak Zan.

Setelah mereka (numpang) makan di pesta pernikahan itu, mereka pergi ke rumah Dziqa menggunakan mobil Avery.
"Bapak udah ganteng, belum?" Tanya Pak Zan.
"Udah, Pak.. Udah.." Jawab Avery. "Tapi masih gantengan saya."
"Idih.. Udah ayo kita masuk!" Kata Aina.

Mereka bertiga pun turun dari mobil dan menunggu di depan gerbang.
"Permisi, Dziq... Permisii... Halooooo.."
Tampak seorang perempuan keluar dari rumah Dziqa.
"Eh, Bi. Dziqanya ada?" Tanya Aina.
"Dziqa tadi udah berangkat." Jawab perempuan itu.
"Berangkat kemana, Bi?" Tanya Aina.
"Ke nikahan . Udah agak lama da berangkatnya.." Jawab Perempuan itu.
"Oohh.. Makasih, Bi.." Kata Aina.
"Iya sama sama, Non." Kata perempuan itu.

Aina kembali ke tempat Pak Zan dan Avery berada. Dengan muka cemas, ia berusaha menelpon Dziqa. Tapi sayang, teleponnya tidak diangkat oleh Dziqa.
"Apa kata perempuan itu?" Tanya Pak Zan.
"Dziqa udah berangkat dari tadi ke nikahan. Pasti dia mau ke nikahan Bapak." Jawab Aina gemetar.
"Coba telpon lagi." Kata Avery.
Aina mencoba menelpon Dziqa lagi. Tapi sayang, tidak ada yang mengangkat telpon itu.
"Mungkin, dia lagi nyetir." Kata Avery mencoba menenangkan.
"Gak mungkin dia selama itu berada di perjalanan." Kata Aina.

Tiba tiba, telpon Aina berbunyi. Nama penelponnya adalah Dziqa.
"Dziqa nelpon!" Kata Aina.
"Di loudspeak aja..." Kata Pak Zan.
Aina pun mengangkat telpon itu. "Halo, Dziq?"
"Halo, maaf mengganggu sebelumnya. Apakah anda kerabat dekat Dziqa?" Tanya orang di telpon.
"Iya, saya sahabatnnya. Ada apa, ya? Ini siapa?" Tanya Aina balik.
"Saya perawat Rumah Sakit Sehat Terus. Anda sebaiknya datang ke rumah sakit segera. Sahabat anda sedang dalam kondisi kritis." Jawab sang penelpon yang ternyata perawat itu.
"Baiklah, saya segera kesana." Jawab Aina.

Telepon pun ditutup. Aina dan Pak Zan langsung cemas. Keringat mengalir karena khawatir akan Dziqa.
"Kalian, langsung naik mobil aja sambil tenangin diri, ya." Kata Avery yang tidak terlalu tegang karena dia tidak terlalu dekat dengan Dziqa.

Dziqa berlari di ruangan putih. Ia melihat ke sekelilingnya. Semuanya putih. Bahkan dia juga memakai baju putih.
"Halo? Dimana aku? Ada orang disini?" Tanya Dziqa.
Tampak seorang gadis yang usianya tidak berbeda jauh dengan Dziqa berjalan menghampiri Dziqa. "Hai, Dziq!"
"Kak Tasya?" Tanya Dziqa.
"Lama gak ketemu, ya? Kamu kangen, gak sama Kakak?" Tanya perempuan itu balik.
"Dziqa.. Dziqa kangen sama Kakak. Kenapa kakak pergi?" Tanya Dziqa lagi.
"Karena sudah waktunya." Jawab seorang gadis yang bernama Tasya.
"Kenapa Dziqa ditinggal?" Tanya Dziqa.
"Masih banyak tugas yang harus kamu kerjakan." Jawab Tasya sambil tersenyum.
"Tapi, Dziqa masih mau bareng sama Kakak." Kata Dziqa. Ia pun menitikkan air matanya.
Tasya menghampiri Dziqa dan memeluknya. Tangisan Dziqa makin menjadi jadi.
"Dziqa mau ikut Kakak aja." Kata Dziqa.
"Kamu gak bisa ikut Kakak sekarang.." Kata Tasya.
"Bisa, kok. " Kata Dziqa.
"Masih banyak orang yang membutuhkan kamu." Kata Tasya.
"Dziqa sayang Kakak.." Kata Dziqa.
"Kakak juga sayang Dziqa. Buktiin kalau Dziqa sayang Kakak, Dziqa harus bisa banggain Mama sama Papa. Dziqa sekarang Kakak anter pulang, terus buktiin kalau Dziqa sayang Kakak." Kata Tasya.
Tasya pun menggenggam tangan Dziqa dan mengantarkan Dziqa dari ruangan putih itu.

Pak Zan, Aina, dan Avery pun sampai di rumah sakit. Mereka langsung pergi ke tempat pendaftaran dan bertanya di mana Dziqa dirawat sekarang. Setelah tahu kamar tempat Dziqa dirawat, mereka langsung pergi ke kamar tempat Dziqa dirawat.

Terlihat Dziqa terbaring lemah di atas tempat tidur. Ada seorang perawat dan seorang dokter di samping tempat tidur Dziqa.
"Bagaimana kondisinya sekarang, dok?" Tanya Aina.
"Dia sudah stabil sekarang." Jawab dokter.
"Apa yang terjadi?" Tanya Pak Zan.
"Seorang saksi mengatakan, ia dan seorang lelaki mengalami kecelakaan mobil. Mobilnya menabrak pohon. Diperkirakan remnya blong saat itu." Jawab dokter. "Apakah orangtuanya akan datang?"
"Entahlah, dok. Saya akan coba hubungi. Setahu saya, orangtuanya sedang berada di luar kota. Dia hanya bersama supir dan pembantunya di rumah." Jawab Aina. "Apakah ada bagian tubuhnya yang rusak, dok?"
"Beberapa kenangannya hilang karena kepalanya yang terbentur. Tapi, ingatannya akan berangsur-angsur membaik kira kira sebulan. Tapi, itu bila kalian meyakinkan ingatan itu. Jadi, kalau dia merasa asing pada kalian, itu karena kepalanya yang terbentur. " Jawab dokter.
"Bagian tubuh lainnya, dok?" Tanya Avery.
"Sisanya baik baik saja." Jawab Dokter. "Saya permisi dulu, ya. Ada pasien lain yang harus saya tangani."

Avery dan Aina turun ke bawah untuk membeli minuman. Sementara Pak Zan, ia masih menunggu Dziqa di sebelah kasur Dziqa. Tiba tiba, tangan Dziqa bergerak. Pak Zan langsung memanggil namanya.
"Dziqa!" Kata Pak Zan.
Dziqa pun mencoba membuka matanya. Ia melihat Pak Zan langsung kaget. Ia langsung ngeri.
"Lah? Bapak, kan guru Biologi yang baru itu?" Tanya Dziqa. "Kenapa Bapak ada di sini? Kok, Bapak tahu saya lagi sakit? Wiih, Bapak perhatian, ya sama saya."
"Dziq?" Tanya Pak Zan.
"Apa, Pak?" Tanya Dziqa.
"Bapak gak jadi nikah." Kata Pak Zan.
"Hah? Bapak tadinya mau nikah? Cie, sama siapa? Kok, batal, sih? Kenapa gak ngundang?"

I Love Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang