Hujan deras membasahi satu kota. Dziqa lupa membawa payung. Pagi ini ia buru buru dari kostannya menuju tempat kuliah karena takut dimarahi oleh dosen killer. Jadi, ia tidak ingat tentang payung dan resikonya ia harus menunggu di halte dan tidak menyebrang sampai hujannya reda, atau ia menyebrang tapi tasnya basah dan kertasnya juga basah. Ia memilih untuk menunggu dulu daripada tasnya basah.
Tiba tiba ada seorang lelaki yang baru turun dari bis dan menunggu di halte juga bersama Dziqa. Tapi tak lama kemudian, lelaki itu mengeluarkan payung dari tasnya dan membukanya. Ia melihat kearah Dziqa dan kaget.
"Dziqa? Kamu lagi apa di sini?" Tanya lelaki itu.
Dziqa melihat kearah sumber suara itu dan kaget setelah melihat orang yang bertanya kepadanya.
"Pak Zan? Aku lagi nunggu hujan reda. Mau nyebrang tapi lupa gak bawa payung." Jawab Dziqa.
"Mau bareng? Bapak juga mau nyebrang." Kata Pak Zan.
"Boleh, makasih ya Pak." Kata Dziqa.
Pak Zan membuka payungnya dan mereka pun menyebrang bersama.
"Kamu gimana sekarang? Nyaman sama tempat kuliah kamu?" Tanya Pak Zan.
"Nyaman nyaman aja. Aku seneng, kok. Tapi, aku kangen masa SMA, hahahaha..." Jawab Dziqa. "Bapak sendiri gimana? Istri bapak gimana?"
Sesaat, Pak Zan diam saat mendengar pertanyaan itu. "Istri Bapak meninggal satu bulan setelah perpisahan."
"Aduh, Pak maaf aku gak maksud...."
"Gak apa apa." Kata Pak Zan. "Gimana, kamu masih sama Hanif?"
"Kalau aja aku dari awal udah nurut sama Aina, aku gak bakal sedih. Aku harusnya tahu dia gak bener bener sama aku." Jawab Dziqa.
"Kalau gitu, malem ini ada acara gak? Kita hilangin rasa patah hati gimana?" Ajak Pak Zan.
"Boleh juga."