Menikah Lagi?

5.9K 162 2
                                    

            Pak Zan hanya bisa diam di ruang tunggu. Rasanya, ia tidak sanggup bila harus kembali ke kamar inap Mira. Ia hanya bisa memikirkan pertanyaan Mira tadi. Maukah dia menikah dengan Mira? Ia tidak tahu. Ia sekarang sudah menaruh hati kepada Dziqa. Tapi, kalau ia terus mengharapkan Dziqa, belum tentu ia mendapatkannya. Dziqa sedang lupa ingatan dan selisih usia mereka juga lumayan jauh.

        Pak Zan tidak menjawab apa apa ketika Mira bertanya pertanyaan yang sulit untuk dijawab itu. Ia hanya mengucapkan "permisi, saya harus ke toilet" dan kemudian dia pergi dari kamar inap Mira. Memang tidak sopan menggantung prang begitu saja. Tapi, ia bingung harus menjawab apa lagi.

       Tiba tiba datanglah Aina yang berjalan sambil memakan es krim dan memainkan gadgetnya. Aina tidak melihat tanda bahwa lantai licin masih baru di pel dan kemudian jalan melewati lantai itu begitu saja. Ia pun jatuh dan kemudian berteriak "*nj*y! Sakit b*g*", dan kemudian berdiri sambil mengelus pantatnya. Es krim yang ia pegang jatuh mengotori lantai.

      Pak Zan yang mendengar kata kata tidak baik yang keluar dari mulut gadis itu langsung melihat kearah Aina. "Hoy!" Sapa Pak Zan.
Aina langsung melihat kearah sumber suara "eh, Bapak!" Jawab Aina.
       "Kamu kenapa? Kusut begitu mukanya." Tanya Pak Zan, "jatuh, ya?"
       "Iya, nih. Geus, bae, lah! Bapak juga kusut kayak lagi galau gitu. Malah, muka bapak jauh lebih mengkhawatirkan daripada muka saya." Jawab Aina.
       "Bapak lagi bingung." Kata Pak Zan.
       "Walach, bingung kenapa? Cerita aja, Pak. Siapa tahu saya bisa bantu." Tanya Aina.
       "Ceritanya di kantin aja, ya? Disini gak enak tempatnya." Jawab Pak Zan.

     Di kantin, Pak Zan menceritakan bagaimana seorang Mira yang meminta Pak Zan untuk menikahinya. Pak Zan juga bilang bahwa ia terlanjur menaruh hati pada Dziqa, sehingga sulit untuk menjawab pertanyaan Mira itu.
     "Hmm, gimana, ya. Saya juga bingung bantunya, Pak. Tante Mira itu kondisinya lagi sekarat sekarang, sedangkan Dziqa masih baik baik saja. Bapak juga gak bisa bantu apa apa lagi, kan buat Tante Mira? Orang sekarat itu yang mereka butuhkan bukan baju mahal, tas mahal, Pak. Mereka butuh kasih sayang dan perhatian. Nah, kasih sayang dan perhatian itulah yang membuat mereka semangat hidup lagi, walaupun mungkin ujung ujungnya dia bakal ninggalin kita. Tapi, setidaknya kita udah berusaha." Kata Aina.
        "Kamu ini anak anak atau orang dewasa, sih?" Canda Pak Zan.
        "Bapak bisa aja, deh. Itu, kan pengalaman saya." Jawab Aina. Ia pun meneguk teh hijau yang tadi dipesan.
        "Memang, sih yang kamu katakan tadi benar. Tapi, rasanya sulit menikah tanpa ada rasa cinta." Kata Pak Zan.
         "Saya kurang tahu tentang cinta. Tapi, kalau misalnya bapak coba jalani, lama lama terbiasa. Lagian, sebelumnya bapak juga pernah saling jatuh cinta, kan dengan Tante Mira? Kayaknya bisa, deh." Kata Aina. "Bukannya aku jahat atau gimana, ya. Tapi, kasihan juga Tante Mira. Mending, bapak terima aja."
         "Terus, Dziqa gimana?" Tanya Pak Zan.
         "Memang dia punya perasaan yang lebih dari sayang ke bapak sebelum dia lupa ingatan. Sekarang, kan dia lupa. Kalau menurut aku, sebaiknya bapak cepat menikah saja dengan Tante Mira, sebelum Dziqa ingat lagi bahwa dia suka sama bapak dulu." Jawab Aina.
          "Makasih sarannya, ya." Kata Pak Zan.
          "Eh, tapi bapak coba pikir pikir lagi. Ini cuman pendapat saya aja, Pak. Saya bukannya gak sayang sama Dziqa yang menaruh perasaan pada bapak. Saya juga mendukung bapak dengan Dziqa. Tapi, kalau gini kondisinya, saya berpendapat begini. Tapi, saya mah kembali lagi ke bapa. Mending, Bapak pikirin lagi bener bener." Kata Aina.
           "Iya, saya coba pikirin lagi." Kata Pak Zan.
           "Mbak, lontong karinya satu lagi, ya! Dibungkus aja!" Teriak Aina. "Eh, Pak. Bener, kan ini semua Bapak yang bayar?"
           "Iya, saya yang bayar." Jawab Pak Zan.
           "Makasih, ya Pak. Bapak baiik banget. Saya kebetulan lagi laper, nih, hehe."

        Beberapa menit kemudian, datanglah pesanan Aina yang sudah dibungkus. "Wiih, wanginya kecium sedap banget." Kata Aina. "Makasih banyak, ya, Pak. Oiya, saya mau ke kamar Dziqa lagi. Daahh.. Makasih, ya!"
         "Iya sama sama. Makasih juga nasihatnya." Kata Pak Zan.
Pak Zan pun berdiri kemudian berjalan menuju kasir.
         "Meja nomer berapa, Pak?" Tanya petugas kasir.
         "Nomer sepuluh, Mba." Jawab Pak Zan.
         "Totalnya dua ratus ribu, Pak." Kata Penjaga kasir.
Pak Zan terbelalak. Ia tidak percaya harga yang barusan didengar olehnya. "Bener, Mbak?"
         "Iya, Pak. Tadi si Mbaknya mesen lontong kari dua, terus teh hijaunya satu, milkshakenya satu, nasi goreng special satu, kentang goreng satu, sosis jumbo satu, sama mesen cheesecake satu. Sama tadi pesanan mas juga jus buah naga sama es krim, kan?" Jawab penjaga kasir.
Pak Zan diam sejenak. Ia baru ingat bahwa saat ia bercerita, Aina bolak balik memanggil mbak mbak untuk memesan makanan dan minuman.
           "Oh, iya mbak. Ini uangnya." Kata Pak Zan sambil menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan.
           "Terimakasih, Pak. Sampai jumpa kembali!"

       Pak Zan berjalan menuju mobilnya. Hari ini, ia tidak jadi membeli bensin karena uangnya telah ia habiskan untuk membayar makanan yang tadi Aina pesan. Dan, ia lupa bahwa Aina makan dengan cepat dan banyak. Ia harus menerima kesialannya hari ini yang entah keberapa. 

I Love Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang