Ajakan Dziqa

5.8K 167 5
                                    

Seketika kesedihan Dziqa menghilang setelah melihat Hanif yang beridiri dengan tampannya (menurut Dziqa) di depan gerbang sekolah. Ia langsung senang, karena Hanif adalah orang terakhir yang dia cintai sebelum bertemu dengan sang guru muda itu. Dan saat ini, ia melihat Hanif kembali ke sekolahnya. Dziqa berharap, mereka bisa kembali seperti dulu. Menjalin hubungan kekasih.

Hanif mengeluarkan tangannya dari saku celana dan kemudian menggenggam tangan Dziqa. Dziqa yang digenggam tangannya merasa seakan mereka sudah kembali seperti dulu lagi. Ia senang sekali. Tangan Hanif terasa hangat di genggaman Dziqa.
"Mau masuk?" Ajak Hanif.
"Ayo." Jawab Dziqa gemetar.

Mereka pun masuk sekolah sambil bergandengan tangan, layaknya sepasang kekasih yang baru saja jadian. Sebagian murid yang melihat mereka berbisik bisik. Sebagiannya lagi banyak yang mengatakan 'cie balikan' padahal mereka tidak balikan. Cuman pegangan tangan saja.

Tapi, di sisi lain, Aina yang melihat mereka bermesraan di depan publik langsung eneg. Aina tahu semua kepalsuan Hanif selama ini. Bukannya ia cemburu, tapi ia tidak bisa melihat sahabatnya yang hidup dalam kepalsuan.
"Woy!" Avery mengejutkan lamunan Aina. Entah dari mana, Avery datang secara tiba tiba.
"Haduh, kaget, nih." Kata Aina.
"Takut ketahuan, ya?" Canda Avery.
"Ah, enggak, kok." Kata Aina. "Kesel lihatnya."
"Kenapa? Kamu cemburu?" Tanya Avery.
"Cemburu? Iyuwh, ngapain juga. Lagian, kamu, kan tahu yang sebenarnya. Jadi, kalau kamu ada di posisi aku juga kamu bakalan ngerasa hal yang sama." Jawab Aina sambil masih melihat kearah Dziqa dan Hanif yang sedang berpegangan tangan.
"Kalau emang Hanif udah baik gimana?" Tanya Avery yang sekarang jadi ikut ikutan memata matai Dziqa.
"Ya, tetep aja masih ada rasa kesel sama dia." Jawab Aina. "Aha! Aku punya ide! Gimana kalau kita hancurin aja hubungan mereka. Kita keluarin Hanif dari sekolah dengan cara kamu gelut sama dia. Nanti, aku yang jadi saksi mata dan bilang Hanif yang mulai duluan. Gimana?"
"Ya, kalau misalnya argumen kamu gak kuat, terus aku yang dikeluarin? Kamu gak bakal kasihan atau kangen gitu sama aku?" Tanya Avery balik.
"Jah! Ngapain kasihan, kamu udah tegar begitu." Jawab Aina. "Pokoknya, kita harus bisa membuat Hanif keluar dari sekolah kita!"
Avery hanya bisa tertawa melihat semangat Aina yang berapi api untuk bisa mengeluarkan Hanif yang menyebalkan itu. "Kamu gak suka lihat Dziqa bahagia?"
"Suka. Tapi, kalau kayak begini, ini mah palsu." Jawab Aina.
Avery pun merangkul tubuh gempal Aina dan menariknya keluar dari persembunyian dadakan itu. "Kita masuk kelas aja, yuk! Buang buang waktu kita di sini gak ngapa ngapain. Cuman ngeliatin orang yang lagi mesra mesraan."
Aina malah melepas rangkulan Avery. "Yaudah, deh."

Saat Aina dan Avery masuk kelas, mereka melihat Dziqa yang duduk bersebelahan dengan Hanif. Itu membuat Aina semakin dongkol. Ia sudah tidak tahan untuk menonjok wajah menyebalkan Hanif. Aina sudah mengepalkan tangannya seperti sudah siap untuk menonjok wajah Hanif. Tapi, Avery segera menggenggam tangan Aina untuk menahan Aina.
"Tahan, Na. Daripada kamu yang dikeluarin." Kata Avery.
"Susah banget, nih. Kesel." Kata Aina.
"Ini tuh kayak kamu cemburu tahu, gak?" Kata Hanif.
"Yaudah, aku tahan."

Dengan senyuman kesal yang terpampang di wajah Aina, mereka pun berjalan menuju bangku yang masih kosong, yaitu bangku di belakang Hanif dan Dziqa. Aina dan Avery pun duduk di bangku itu.
"Hai, Aina!" Sapa Hanif.
Aina tidak merespon apapun. Bahkan, wajahnya pun tidak melihat sedikit pun kearah Hanif.
"Kok, gak dibales, sih sapaannya?" Tanya Hanif. "Hai Aina!"
"Hai Hanif! Mungkin, dia lagi kesel sama keluarganya hari ini." Malah Jawab Avery.
"Oh, oke kalo gitu." Kata Hanif. "Nanti siang mau ke kantin ber-empat?"
"Wah, boleh banget, tuh!" Jawab Dziqa dengan senangnya. "Ikut, yu, Na?"
"Gak, gak laper aku." Jawab Aina tiis. Ia memang tidak bisa bareng bareng dengan Dziqa dan Hanif.
"Ahh.. Ayo, Na. Bareng bareng ke kantin. Temeniiinnn..." Rengek Dziqa.
"Dia lagi shaum, Dziq." Kata Avery.
"Oh, lagi shaum. Maaf, deh kalo gitu." Kata Hanif.

Saat jam istirahat, Aina kesal melihat Dziqa dan Hanif meninggalkan kelas sambil berjalan beriringan. Sudah di antepin oleh Dziqa, ia harus melihat Dziqa ditipu oleh kebaikan Hanif yang palsu.
"Na, kamu mau sampe kapan kayak gini?" Tanya Avery.
"Sampe mereka berhenti berdua dua." Jawab Aina.
"Kamu harus bisa membiarkan Dziqa bahagia. Kalau sampe Hanif macem macem lagi, baru kamu bertindak." Kata Avery.
"Oke, kalo gitu." Kata Aina.
"Kamu bener gak laper?" Tanya Hanif.
"Laper, sih. Cuman, aku gak mau aja bareng bareng sama mereka." Jawab Aina.
"Yaudah, aku beliin makanan. Terus, makan aja di kelas. Jangan sampe ketahuan kalo kamu emang lagi gak shaum."

Dziqa hari ini merasa sangat bahagia. Sangat sangat bahagia. Sudah Hanif kembali satu sekolah dengannya, sekarang ia akan pergi ke kantin dengan Hanif. Ia akan kembali makan bersama Hanif seperti dulu. Ia duduk dengan Hanif seperti dulu. Dan, ia juga akan kembali berbincang bincang dengan Hanif seperti dulu.
"Aku bisa melihat hari ini kamu bahagia." Kata Hanif.
"Emmm.. Iya, hari ini aku bahagia." Kata Dziqa.
"Bagus kalau gitu." Kata Hanif. "Kamu mau makan apa? Biar aku yang pesenin."
"Apa aja terserah kamu. Samain aja sama kamu." Jawab Dziqa.
"Oke, tunggu di sini, ya." Kata Hanif.
Hanif pun pergi memesan makanan. Dziqa melihat punggung Hanif dari belakang. Ia ingat, dulu ia sering melihat punggung Hanif saat mereka ke kantin.

Avery berjalan menuju tukang bakso berada. Ia akan membelikan makanan untuk Aina yang sedang 'shaum' itu. Di tukang bakso, ia melihat Hanif yang sama sama pesan bakso. Hanif tiba tiba saja melihat kearah Avery.
"Eh, Bro! Lo ke kantin? Kenapa gak ikut shaum sama pacar loe?" Tanya Hanif.
Songong juga ni anak. Baru masuk udah begini. Batin Avery sambil melihat Hanif dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Enggak, gue bangun pas banget azan." Jawab Avery.
"Oh, gue kira pacar loe gak mau ikut ke kantin, jadi loe cari cari alesan." Kata Hanif.
"Ya enggala." Kata Avery.

Hanif pun memesan bakso. Ia pun menunggu di sebelah Avery yang sekarang giliran untuk memesan.
"Pesen dua porsi, bungkus aja." Kata Avery.
"Ditunggu, ya." Kata tukang bakso.
Avery pun berjalan menuju tempat untuk menunggu.
"Loh, loe, kok mesen dua bungkus? Buat siapa?" Tanya Hanif.
"Kepo aja, ya loe." Jawab Avery. "Buat temen gue, lah!"
"Oh, kirain buat pacar loe yang pura pura shaum." Kata Hanif. Bakso yang ia pesan pun sudah ia dapatkan. "Gue duluan."
Avery yang enggak terlalu kenal sama Hanif sudah kesel banget. Avery langsung berpikir, bagaimana perasaan Aina yang sudah mengenal Hanif lumayan dekat karena Dziqa?

Bel masuk pun berbunyi. Semua murid berhamburan kembali ke kelas masing masing. Tidak ada yang mau berlama lama di kantin setelah bel berbunyi. Mereka takut, guru tergalak di sekolah –Bu Meta marah pada mereka yang masih berdiam diri di kantin. Termasuk Dziqa, ia kembali dari kantin bersama Hanif. Dan bahkan, di tengah perjalanan menuju kelas, Hanif menggenggam tangan Dziqa. Dan, itu membuat Dziqa baper.

Di kelas, sudah ada Aina dan Avery yang sedang mengerjakan tugas. Dziqa dan Hanif masuk ke kelas dan kemudian duduk di tempat mereka.
"Em, guys." Kata Dziqa.
Aina, Avery, dan Hanif pun langsung nengok kearah Dziqa. "Ada apa, Dziq?" Tanya Aina.
"Bulan depan salah satu guru kita ada yang nikah." Jawab Dziqa, "gimana kalau kita dateng bareng bareng?"
"Ayo! Siapa yang nikah?" Tanya Hanif dengan bersemangat.
"Pak Zan." Jawab Dziqa.
Seketika tubuh Aina merinding mendengarnya. Bagaimana bisa Dziqa dengan semangatnya mengajak teman temannya ke acara pernikahan Pak Zan? Apakah Dziqa sudah melupakan perasaannya karena sudah bertemu dengan Hanif? Aina benar benar tidak paham tentang itu.

I Love Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang