"Assalamualaikum." Sapa seorang wanita yang bernama Melissa itu. Ia tersenyum kepada Dziqa dan Aina.
"Oh, ini." Kata Aina ketus. Ia dengan berani 'ngedelek' Melissa.
"Kenapa, Aina?" Tanya Pak Zan.
"Waalaikumsalam." Jawabannya malah gak nyambung sama pertanyaan Pak Zan.Dziqa hanya terdiam sambil menunduk. Isi hatinya berantakan sekarang. Ia bingung. Haruskah ia tetap diam di situ atau pergi ke toilet untuk menangis karena Pak Zan.
"Dziq?" Tanya Aina.
Dziqa berlari ke toilet dan kemudian langsung dikejar oleh Pak Zan.
"Ehm, tante. Tante, ya yang mau nikah sama guru saya?" Tanya Aina.
"I..ya.. Memangnya, ada apa, Aina?" Tanya Melissa.
"Gak apa apa, cuman nanya sama... keberatan. Eh, maksudnya keberatan bawa tas sekolah." Jawab Aina.Dziqa segera masuk ke toilet perempuan dan menangis. Ia harus menerima bahwa orang yang sedang ia sukai akan menikahi seseorang. Ia tahu bahwa usianya dengan usia Pak Zan bisa dibilang agak jauh. Tapi, mau bagaimana lagi kalau sudah punya perasaan?
Dengan memberanikan diri, ia keluar dari toilet dan membasuh mukanya. Ia tidak boleh terlihat terlalu sembap saat keluar dari toilet. Ia harus kelihatan baik baik saja menerima segala yang terjadi sekarang. Ia mengoleskan bedak di bagian bawah matanya dan mencoba tersenyum lagi walaupun sulit.
Ia pun pergi kembali menuju Aina. Ketika baru keluar dari area perempuan, seseorang mencegatnya dengan menggenggam tangannya. Dziqa menoleh ke belakang dan melihat ada Pak Zan.
"Kamu kenapa, Dziq?" Tanya Pak Zan.
"Saya baik baik saja, Pak." Jawab Dziqa.
"Saya tahu kamu bohong." Kata Pak Zan.
"Memang, apa urusan Bapak dengan keadaan saya? Bapak tidak akan mengubah apapun." Jawab Dziqa sambil mencoba melepaskan genggaman Pak Zan. Tapi, Pak Zan tidak mau melepasnya.
"Jawab dulu. Saya tahu kamu menyimpan sesuatu. Kamu sudah menutupinya dengan apapun tapi saya masih bisa lihat mata sembapmu, Dziq." Kata Pak Zan.
"Apa yang Bapak pendapat bila ada seseorang yang ternyata selama ini menyimpan rasa pada Bapak tapi kemudian ia tidak bisa berbuat apa apa karea Bapak harus menikah dengan orang lain?" Tanya Dziqa.
Pak Zan diam dan genggaman tangannya melemah. Dziqa pun berhasil melepas tangan Pak Zan.Sementara Aina, dengan gayanya sendiri mengajak ngobrol Melissa yang tidak tahu apa apa tentang Dziqa.
"Tante, tau, gak Pak Zan tuh jorok? Kalau ngajar, suka ngorong terus korongnya dileletin ke meja guru. Dia sering diomongin, loh sama murid murid." Kata Aina dengan muka serius.
"Oh, ya? Kok, aku gak pernah lihat, ya? Jangan bohong kamu!" Kata Melissa.
"Ya iyalah. Di depan cewek mah gak akan! Kalau di depan murid, kan dia pikir murid murid masih bocah. Jadi, kalau dia ngorong gak masalah. Padahal, aku udah SMA." Kata Aina. "Tapi, jangan ditanyain ke Pak Zannya, ya? Nanti dia malu kalau rahasianya dibongkar."
"Oiya, tante tuh, kata aku terlalu cantik sama baik buat nikah sama Pak Zan. Tante seharusnya mencari lelaki yang lebih mapan daripada Pak Zan. Sayang, loh tante udah capek capek membangun Akhlak mulia malah nikah sama orang jorok. Iiihh."Tiba tiba, Dziqa datang menghampiri mereka dengan mata yang sembap -lagi-.
"Na, pulang, yuk? Aku capek hari ini." Kata Dziqa.
"Lah, ini bajunya belum dibayar." Kata Aina.
"Gausah, lah. Kapan kapan aja beli bajunya. Aku udah capek. Pusing, lagi." Kata Dziqa.
"Oke, deh. Dah, tante! Seneng bisa ngobrol sama tante." Kata Aina.
Mereka pun pergi meninggalkan Mall itu.