Dziqa melihat handphonenya. Ia membuka galerinya untuk melihat dan mencoba mengingat semua yang pernah terjadi. Ia penasaran, sedekat apa dia dan Pak Zan sebelum kecelakaan itu terjadi. Ia melihat galerinya dan ia melihat beberapa foto dengan Pak Zan. Mereka tampak sangat akrab di foto itu. Dziqa tersenyum, mungkin dulu dia adalah murid yang paling pintar di kelas, jadi Pak Zan senang dengannya.
Tiba tiba, terdengar suara ketukan pintu. Seorang lelaki masuk ke kamar itu sambil membawakan Dziqa seikat bunga. Itu adalah Pak Zan.
"Dziqa?" Sapa Pak Zan.
"Bapak! Wah, seneng, udah ada yang jenguk hari ini..." Kata Dziqa.
"Ini ada bunga untukmu." Kata Pak Zan sambil memberikan bunga yang tadi ia pegang kepada Dziqa.
"Makasih, ya Pak." Kata Dziqa.
"Iya, sama sama. Oiya, kapan kamu bisa keluar dari rumah sakit?" Tanya Pak Zan.
"Mungkin lusa atau lusanya lagi, kurang tahu." Jawab Dziqa.
"Semoga kamu bisa cepet sekolah lagi, ya." Kata Pak Zan.
"Pak, aku mau tanya, dong." Kata Dziqa.
"Iya, tanya aja, ada apa?"
" Pak, saya dulu murid paling pintar, ya di kelas? Sampai saya bisa dekat banget sama Bapak. Biasanya, kalau guru-murid dekat, si muridnya pintar." Tanya Dziqa.
Pak Zan sedih karena Dziqa belum ingat. Tapi, ia juga ingin tertawa mendengarnya. Pertanyaan itu lumayan konyol menurut Pak Zan.
"Iya, mungkin. Tapi, kita dekat bukan karena itu." Jawab Pak Zan.
"Terus, dulu kita dekat karena apa, dong?" Tanya Dziqa.Untung bagi Pak Zan, ia tidak harus menjawab pertanyaan itu sekarang karena Aina dan Avery tiba tiba datang sambil membawakan sesuatu untuk Dziqa. Saat itu juga Pak Zan lega, doanya dikabulkan, ia tidak harus menjawab pertanyaan yang cukup rumit untuk dijawab itu.
"Eh, udah ada Pak Zan." Kata Avery.
"Iya, nih." Kata Aina. "Oiya, ini buat kamu." Aina pun memberikan sesuatu yang ia bawa kepada Dziqa.
"Makasih, ya Na." Kata Dziqa. "Wah, seneng, nih banyak yang nengok. Tapi, kursinya cuman dua, gapapa, kalo ada yang berdiri?"
"Gak apa apa, kok. Oiya, aku mau ke WC dulu, hehe. Maaf banget baru datang udah pergi lagi, nanti aku balik lagi, kok." Kata Aina. Ia pun berjalan keluar kamar, padahal sebenarnya ia tidak ingin ke toilet, ia hanya tidak ingin mengganggu Pak Zan dan Dziqa saat itu.
"Eh, aku juga ikut, deh." Kata Avery.
"Lah, ke WC kok bareng?" Tanya Dziqa.
"Enggak, WC nya kan misah." Jawab Avery yang sama sama ingin memberikan Dziqa dan Pak Zan privasi.Setelah Aina dan Avery bohong ingin pergi ke WC, jantung Pak Zan berdebar lagi. Ia sangat takut Dziqa akan menanyakan pertanyaan yang tadi, pertanyaan yang membuatnya sangat kebingugan karena ia tidak punya jawaban untuk itu. Ia tidak tahu mengapa mereka sebelumnya bisa sedekat itu.
"Pak, atau dulu aku pernah suka sama Bapak? Atau Bapak yang pernah suka sama saya?" Tanya Dziqa.
Pertanyaan ini juga salah satu pertanyaan yang menurut Pak Zan sulit dijawab. Ia belum bisa mengakuinya, ia juga tidak mau Dziqa mengingat bahwa Dziqa pernah menyukainya. Ia tidak mau Dziqa menyukainya lagi dan kemudian patah hati karena ia akan menikahi seorang wanita yang bernama Mira.
"Pak, jawab dong..." Pinta Dziqa. "Kayaknya dulu bapak suka, ya sama saya, makanya bapak gak bisa jawab?"
"Hahaha... Masa, sih guru suka sama muridnya sendiri?" Tanya Pak Zan, hanya itu yang bisa ia katakan karena ia bingung harus mengatakan apa lagi.
"Ya, bisa aja, mungkin. Soalnya, kalau lihat dari foto, kita deket banget, sih. Kayak bukan guru-murid biasa." Jawab Dziqa. Sebagian kecil dari hatinya sakit, entah kenapa.
"Memangnya, kalau bapak suka sama kamu kenapa?" Tanya Pak Zan.
Sekarang, Dziqa yang tidak bisa menjawab. Sebagian kecil dari hatinya sudah mengingat bahwa dia pernah memiliki perasaan kepada guru muda itu. Tapi, otaknya mengatakan jangan mengingatnya dan itu tidak pernah terjadi.
"Yah, saya kan cuman nanya. Yaudah, deh.." Jawab Dziqa.
"Memangnya, kamu masih lupa?" Tanya Pak Zan.
Dziqa menggeleng. Ia sudah berusaha keras mengingat apa yang terjadi, tapi ia masih lupa. Walaupun samar samar, tapi ia masih lupa apa alasan yang membuat ia dengan guru muda itu dekat. Bahkan, mereka terlihat seperti sangat dekat.
"Semoga, kamu cepat ingat lagi, ya Dziq." Kata Pak Zan.
"Kenapa gak Bapak kasih tahu aja, sih? Biar saya cepet inget." Tanya Dziqa.
"Bapak punya pertimbangan berat untuk memberitahu itu sekarang." Jawab Pak Zan.
"Saya dulu punya perasaan sama Bapak, tapi bapak tidak tahu. Kalau saya masih menyimpan perasaan itu, gimana?" Tanya Dziqa. Samar samar ia ingat ia pernah suka pada guru muda itu. Tapi, ia kurang yakin. Setelah Pak Zan tidak bisa menjawab pertanyaan yang ia lontarkan sebelum sebelumnya, ia tambah yakin bahwa dulu ia pernah menyukai guru muda itu.Pak Zan tidak tahu harus jawab apa. Ia berharap ingatan Dziqa tidak cepat membaik, maksudnya ia tidka ingin Dziqa ingat bahwa Dziqa pernah menyimpan perasaan padanya. Ia hanya takut dan khawatir, walaupun hal itu belum terjadi. Sekarang, ia malah bingung karena Dziqa sudah terlanjur bertanya.
"Simpanlah perasaanmu untuk orang lain saja, Dziq. Saya tidak terlalu pantas untuk kamu. Masa depan kamu masih panjang, kamu harus lulus sekolah dulu. Di tempat kamu kuliah nanti, kamu bakal menemukan banyak lelaki yang lebih baik daripada saya. Bahkan, di sekolah kamu sekarang juga banyak lelaki yang menyukaimu dan lebih baik dari saya. Bukannya saya tidak sayang padamu, Dziq. Tapi, rasa sayang saya mampu mengalahkan rasa egois saya yang ingin memiliki kamu. Saya relakan kamu untuk lelaki yang masih sebaya denganmu, bukan yang jauh lebih tua seperti saya." Kata Pak Zan. Walaupun tidak pantas, kini ia meneteskan air mata.
"Maafkan saya, tapi saya permisi dulu." Kata Pak Zan. Ia pun berdiri dan mulai berjalan meninggalkan Dziqa.
Air mata Dziqa mengalir, ia kemudian menggenggam tangan Pak Zan. Ia sekarang mengerti apa yang terjadi sebelum kecelakaan itu terjadi, mereka pernah jatuh cinta. Tapi, tidak ada satu pun yang pernah mengungkapkan karena masalah usia.
"Saya mengerti, tapi, izinkan saya untuk jatuh cinta kepada Bapak."a/n
difollow ya wattpad temenku!
dustyrose-