Hanif

5K 149 3
                                    

         Aina berjalan menuju kamar inap Dziqa. Ia membawakan lontong kari yang tadi dipesan untuk Dziqa. Aina ingat, dulu ia dan Dziqa sering makan lontong kari bareng. Tapi, sejak ada Pak Zan, waktu makan bareng mereka lumayan berkurang. Memang, ia tidak keberatan dengan hal itu, tapi sekarang ia kangen melihat Dziqa makan lontong kari.

        Aina pun masuk ke kamar Dziqa dan kaget saat melihat siapa yang menjenguk Dziqa saat itu. Seorang remaja lelaki dengan potongan rambut ala tentara dan badan yang tegap. Itu Hanif. Mantan Dziqa yang sudah lama pergi meninggalkan Dziqa dengan alasan akan pergi ke sekolah tentara.

         Samar samar Aina melihat seorang lelaki yang ia kenal dan seorang perempuan yang tidak pernah ia lihat berduaan di komplek rumahnya. Aina mendekat kearah laki laki itu sambil bersembunyi. Itu Hanif. Ia mendengar mereka berbincang.
          "Aku udah pindah sekolah, Rin." Kata Hanif.
          "Bagus, lah. Kita bisa lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Terus, cewek yang kamu pacarin gimana?" Tanya perempuan itu.
          "Aku udah bilang padanya kalo aku mau masuk sekolah tentara, biar dia berhenti menghubungi aku lagi." Jawab Hanif.
Sejak saat itu, Aina membenci Hanif. Tapi, ia tidak memberitahukan itu pada Dziqa karena ia khawatir Dziqa akan tersakiti dan konsentrasi belajarnya hilang.

         Hanif dan Dziqa langsung berhenti berbincang dan melihat Aina yang baru datang sambil membawa kantung kresek.
        "Hai, Aina! Udah lama gak ketemu, ya?" Sapa Hanif.
        "Hehe." Jawab Aina dengan tawa kecil dan tidak ikhlas itu.
        "Ayo duduk sini..." Ajak Dziqa.
        "Iya." Kata Aina. "Oiya, ini aku bawa lontong kari. Tapi, aku cuma bawa satu bungkus."
        "Oiya, makasih, ya." Kata Hanif.
Aina langsung kesal. Padahal, ia ingin melihat Dziqa memakan lontong kari itu, bukannya lelaki brengsek yang pernah menyakiti hati Dziqa secara diam diam yang memakan lontong kari itu.
         "Oiya, Na. Kata Hanif, ia mau pindah ke sekolah kita lagi!" Kata Dziqa.
Dheg! Dziqa tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya malah bahagia, sementara Aina malah tambah dongkol mendengarnya.
          "Kok, kamu gak respon apa apa?" Tanya Dziqa.
          "Oh, bagus. Eh, Hanif, boleh bicara sebentar di luar?" Tanya Aina.
          "Dziq, aku tinggal dulu, ya." Pamit Hanif.

       Aina dan Hanif pergi meninggalkan Dziqa. Di luar, dengan perasaan kesal, Aina menonjok Hanif sekuat tenaga sambil marah marah.
       "GILA KAMU, YA! MASIH MAU MAININ SAHABAT AKU, HAH?!?" Tanya Aina, dia tidak malu mau berapa orang yang lihat kejadian itu.
       "Maksudnya?" Tanya Hanif pura pura tidk tahu.
Tonjokan Aina semakin keras. Hanif tidak bisa menyangkalnya, gerakan Aina terlalu cepat. Bibir Hanif pun berdarah.
        "Apa maksud kamu pindah ke sekolah aku, hah?!" Tanya Aina.
        "Ya, aku kangen, lah sama Dziqa, pacar aku sendiri." Jawab Hanif tanpa merasa bersalah.
        "Pacar katamu? Kamu memainkan perasaannya selama ini dan aku tahu itu!" Kata Aina.
        "Kenapa kamu yang sewot? Kamu LGBT? Kamu suka sama dia?" Tanya Hanif.
Pertanyaan itu seakan meledek Aina dan membuatnya semakin geram. Sudah membela sahabat, malah dibilang LGBT.

          Satu tonjokan Aina melayang di muka Hanif. Ia sekarang sangat sangat membenci lelaki itu. Benar benar brengsek.
           "Terserah mau berapa kali kamu tonjok aku, aku sudah daftar ke sekolahmu." Kata Hanif sambil tertawa meremehkan Aina.
           "Aku akan bilang pada Dziqa kalau kamu sebenarnya tidak serius dengannya. Dan, aku akan berusaha agar aku tidak melihat muka hinamu lagi di sekolah!" Kata Aina.
           "Silahkan aja kalau kamu bisa!" Kata Hanif. Ia pun pergi ke toilet untuk membersihkan diri dan meninggalkan Aina sendirian.

         Aina sekarang bimbang. Haruskah dia memberihatu Dziqa yang sebenarnya? Atau, haruskah dia menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri? Kalau ia memberitahukan itu pada Dziqa, Dziqa akan sakit hati. Kalau ia menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri, Dziqa akan hidup dalam kebahagiaan palsu.



I Love Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang