Aina dan Dziqa pun langsung pergi ke lobby utama Mall dan menunggu supir Aina menjemput. Selama menunggu supir menjemput, Dziqa tidak berkata sepatah kata pun. Aina -yang jelas jelas tidak tahu bagaimana rasanya suka- tidak bisa membantu apa apa. Aina hanya bisa diam menunggu Dziqa yang akan berbicara duluan.
Mobil pun datang dan mereka masuk ke mobil. Dziqa masih diam sambil melihat keluar jendela. Aina ingin mengelus punggungnya atau menawarkannya makanan ataupun sesuatu tapi ia takut. Takut Dziqa malah marah padanya dan mendiamkannya.
Mereka pun sampai di rumah Dziqa. Dziqa dan Aina langsung turun dari mobil. Sebelum Dziqa masuk ke rumah, ia memeluk Aina sambil menangis. Aina membalas pelukannya sambil mengelus punggung Dziqa.
"Maafin aku, ya.. Aku malah ngajak ke tempat yang bikin kamu tambah sedih." Kata Aina.
"Gak apa apa, kok. Makasih, ya udah ngajak aku makan. Saat makan, perasaanku jauh lebih baik dibanding saat aku bercerita padamu." Kata Dziqa. Ia pun melepas pelukannya dan tersenyum. Ia masuk ke rumah sambil menangis.Aina yang tidak enak hati itu masuk ke mobil dan meminta kepada supirnya untuk pergi ke toko mainan dulu sebentar. Ia ingin membeli sesuatu untuk Dziqa.
Setibanya di kamar, Dziqa langsung menangis di bantalnya. Ia menyesal telah menyukai seorang guru biologi muda itu. Ia menyesal terlalu dekat dengan guru biologi muda itu. Ia merasa, seharusnya ia menyukai seorang lelaki yang usianya sebaya dengan dia. Bukan seseorang yang usianya sudah pas untuk menikah.
Keesokan harinya di sekolah, Aina menunggu Dziqa di gerbang sekolah sambil membawakan boneka yang Dziqa inginkan. Menurut Aina, walaupun Dziqa tidak mendapatkan boneka itu dari orang yang Dziqa suka, perasaan Dziqa lebih membaik bila ia mendapat boneka itu dari Aina.
Dziqa tak kunjung datang juga. Aina mengecek Line nya. Tidak ada balasan dari Dziqa. Aina bingung. Padahal, sekarang sudah bel. Dziqa tidak biasanya telat seperti ini. Aina pun masuk kelas dan duduk. Ia curiga kenapa Dziqa tak kunjung datang.
Karena penasaran, Aina pun mendatangi rumah Dziqa dengan menggunakan motor Avery.
"Makasih, ya. Eh, gak apa apa kamu mabal buat nganterin aku?" Tanya Aina.
"Iya, gak apa apa. Emang, Dziqa kenapa?" Tanya Avery balik.
"Dziqa... Umm.. Panjang, lah ceritanya. Aku bingung kenapa dia gak masuk. Mungkin, gara gara kejadian kemarin." Jawab Aina.Mereka pun sampai di rumah Dziqa.
"Eh, Av, gak apa apa, kan kalau kamu nunggu di luar dulu?" Tanya Aina.
"Iya, gak apa apa, kok." Jawab Avery. "Titip salam aja dari aku. Kalau sakit, bilang GWS dari aku."
"Iya, nanti aku sampein."Aina mendapat izin dari Mamanya Dziqa yang hari itu cuti kerja karena Dziqa sakit.
"Mungkin kamu bisa berbicara dengannya." Kata Mama Dziqa.
"Iya, tante."
Aina pun masuk ke kamar Dziqa. Di sana, terlihat Dziqa yang terdiam sedih. Matanya juga sembap. Bibirnya pucat.
"Dziq?" Panggil Aina.
Dziqa langsung tersenyum. Tapi, kesedihan di mukanya masih terlihat.
"Kamu gak sekolah?" Tanya Dziqa.
"Aku mau ngecek keadaan kamu." Jawab Aina. "Ini, aku bawa sesuatu." Kata Aina. Ia pun menyerahkan boneka yang kemarin ia beli kepada Dziqa.
"Makasih, ya.." Kata Dziqa. Ia pun memeluk Aina.
"Aku merasa bersalah udah ngajak kamu ke Mall kemarin. Jadi, aku pikir kalau beli boneka ini, kamu bisa membaik." Kata Aina.
"Makasih, banget. Tapi, kamu sebaiknya ke sekolah lagi. Masih banyak yang harus kamu kerjadin di sekolah daripada kamu nungguin aku di sini." Kata Dziqa.
"Engg.. Tapi.."
"Gak apa apa, kok." Dziqa pun tersenyum. "Makasih, ya.."
"Iya. Oiya, salam dari Avery. GWS katanya.."Aina pun keluar dari kamarnya dan kemudian pamit ke Mama Dziqa. Ia merasa sedikit lebih lega karena sudah melihat Dziqa hari ini dan bisa memberikan boneka itu pada Dziqa.
"Kenapa dia?" Tanya Avery.
"Dia demam." Jawab Aina sambil naik ke motor.
"Yuk, ke sekolah lagi."Saat mereka masuk kelas -secara sembunyi, agar tidak ketahuan Pak Satpam-, guru yang mengajar pada saat itu adalah Pak Zan.
"Aina.. Avery... Dari mana kalian?" Tanya Pak Zan.
"Saya dari rumah sahabat saya yang sedang sakit. Oiya, tolong tulis di buku agenda bahwa Dziqa sakit, ya." Jawab Aina. Ia dan Avery pun duduk di bangku masing masing.
"Okay, mari kita lanjut pembahasannya, ya.." Kata Pak Zan.
"Dasar cuek." Kata Aina pelan.
"Apa, Aina?" Tanya Pak Zan.
"Enggak, gak kenapa napa." Jawab Aina.Setelah pelajaran Biologi selesai, Pak Zan memanggil Aina.
"Aina, bisa saya bicara sebentar?" Tanya Pak Zan.
"Iya, lama juga gak apa apa. Males pelajaran selanjutnya." Jawab Aina.
"Dziqa sakit apa?" Tanya Pak Zan.
"Oh, masih peduli, ternyata. Padahal udah bikin sakit hati." Jawabannya malah seperti itu.
"Karena saya kemarin, ya?" Tanya Pak Zan.
"Ya, pikir weh sendiri. Introspeksi diri coba, Pak. Walaupun saya belum tau rasanya suka yang sebenarnya, saya tau rasanya sakit hati." Jawabannya malah tambah ngaco.
"Temani saya ke rumah Dziqa." Kata Pak Zan.
"Dengan senang hati."Aina dan Pak Zan pun sampai di rumah Dziqa. Mereka diberi izin untuk masuk ke kamar Dziqa. Pak Zan pun diperbolehkan karena Aina bilang Pak Zan itu kakaknya Aina.
"Dziq... Ada seseorang yang mau ngomong sama kamu. Aku kasih kalian privasi." Kata Aina.
Pak Zan pun masuk ke kamar Dziqa sambil membawa sebuah bungkusan.Aina pun keluar ke halaman belakang Dziqa lewat pintu dari kamar Dziqa. Ia membiarkan Pak Zan dan Dziqa berbicara.