Dziqa melihat kearah tangannnya. Ia ingat saat saat ia menyentuh tangan lelaki yang saat ini sedang berada di depannya. Ia sekarang ingat,bahwa dulu ia pernah jatuh cinta kepada lelaki yang saat ini sedang bersamanya di ruang inap itu.
"Kamu sudah ingat sekarang, Dziq?" Tanya Pak Zan.
Bukannya menjawab, Dziqa malahan meneteskan airmatanya. Ia bingung, apa maksud air matanya ini? Bahagiakah? Atau malah sebaliknya? Air matanya menetes begitu saja bersama perasaannya yang tidak karuan.
"Apakah saya dulu sangat dekat dengan Bapak?" Tanya Dziqa balik.
Sekarang, giliran Pak Zan yang bingung dengan apa yang harus disampaikan. Dekat? Ya, mungkin. Tapi, dekat seperti apa?
"Iya, kita dulu dekat." Jawab Pak Zan dengan perasaan ragu. Itukah yang harus ia jawab?
Dziqa terdiam kembali. "Lalu, apa dulu hubungan kita?" Tanya Dziqa.Dheg! Inilah pertanyaan yang tidak bisa Pak Zan jawab. Apa hubungannya dengan Dziqa dulu? Apakah mereka pasangan? Bukan. Apakah mereka hanya sebatas guru-murid? Mereka bahkan lebih dekat dari guru-murid. Pak Zan bingung harus menjawab apa sekarang.
"Kamu lupa?" Tanya Pak Zan.
"Iya. Memangnya, kita sangat dekat? Sampai ada hubungan spesial?" Tanya Dziqa balik.
"Dulu, kita..."
Tiba tiba saja Aina datang sambil ngos ngosan dan berteriak, "Pak Zan! Seseorang yang namanya Mina eh, Mita, atau apapun itu sedang terbaring di sebuah kamar sambil menyebut nyebut nama bapak. Bapak dipanggil suster! Eh, maaf ganggu." Kata Aina.
"Nanti kita lanjut lagi obrolannya, ya Dziq. Saya permisi dulu." Kata Pak Zan sambil meninggalkan kamar inap Dziqa.Pak Zan langsung berlari ke meja registrasi untuk menanyakan di mana Mira dirawat. Seingatnya, tadi Mira terlihat baik baik saja. Kenapa ia langsung terbaring dan memanggil namanya? Mira sudah meninggalkannya beberapa tahun yang lalu, mengapa masih memanggil manggil namanya?
"Permisi, Mbak. Pasien yang bernama Mira yang baru saja daftar kamarnya di mana, ya?" Tanya Pak Zan.
"Oh, Bapak yang bernama Zan? Pasien Mira berada di kamar nomer 204. Dari sini tinggal naik satu lantai lewat tangga. Dari tangga tinggal belok kanan, Pak." Jawab penjaga registrasi.
"Oh, iya. Makasih, Mbak." Kata Pak Zan.Dengan kecepatan berjalan yang ditambah, Pak Zan pergi ke kamar tempat Mira berada. Ia sekarang panik. Ia sekarang berada di tengah tengah dua wanita yang pernah ia sayangi. Dan, kedua duanya terbaring lemah di rumah sakit karena alasan yang berbeda. Ia bingung harus memilih yang mana? Yang sekarang ia sayang atau yang dulu pernah ia sangat sayangi?
Pak Zan pun sampai di kamar Mira. Ia masuk dan melihat Mira sedang terbaring lemah di kasur. Pak Zan melihat Mira sudah sadar, walaupun masih terlihat lemas. Pak Zan pun duduk di kursi yang disediakan oleh rumah sakit untuk pengunjung yang datang.
"Mira?" Panggil Pak Zan.
"Zan? Kamu ada disini? Kamu gak nemenin Dziqa di ruangannya?" Tanya Mira.
"Kamu terlihat lebih sakit daripada Dziqa. Dia sudah membaik. Ada apa? Kamu tadi tidak apa apa? Kenapa sekarang ada disini?" Tanya Pak Zan.
"Tadi aku pingsan, Zan. Tadinya, aku mau pulang nyetir sendiri. Tapi, pas jalan menuju mobil, aku jatuh. Semuanya tiba tiba gelap." Jawab Mira. "Kayaknya, usiaku gak bertahan lama. Aku harus menikah sekarang."
"Tapi, aku yakin kamu kuat. Kamu masih bisa melawan penyakit itu." Kata Pak Zan.
"Mungkin, aku bisa. Mungkin juga aku tidak bisa apa apa lagi. Aku harus segera mencari seseorang yang mau menjadi suamiku." Kata Mira.
"Aku yakin kamu akan mendapatkan suami yang tepat." Kata Pak Zan.
"Zan, bagaimana kalau kamulah yang menjadi suamiku?"