Aina masih melihat kearah Dziqa. Ia terus penasaran dengan kelanjutan cerita Dziqa dan Pak Zan di hari itu. Ia menikmati itu bagaikan sedang mendengarkan pendongeng. Ia makan jajanan, minum minuman.
"Terus apa lagi?"
"Dia ngomong sesuatu."
"Apa?"
Pak Zan masih menatap mata Dziqa. Dziqa juga membalas tatapan Pak Zan. Pak Zan pun menggenggam tangan Dziqa dan kemudian tersenyum. Senyuman yang sangat tulus.
"Makasih, ya udah bantuin saya. Hibur saya." Kata Pak Zan.
Dziqa masih kaget tangannya di genggam oleh Pak Zan. "Eh, iya." Balas Dziqa.
Pak Zan melepaskan genggamannya. "Eh, maaf."
"Iya, Pak."
"Setelah beberapa tahun gak ada yang bantuin mecahin masalah saya, akhirnya datang kamu. Kamu bantu saya. Saya senang. Mungkin kamu gak senang lama lama bareng saya. Mungkin kamu kagok. Maafin saya." Kata Pak Zan.
"Eh, gak apa apa, kok. Saya biasa aja." Kata Dziqa.
Aina menghabiskan jajanannya dan kemudian bertanya lagi. "Terus apa yang terjadi setelah itu?" Tanya Aina.
"Ada penghacau suasana." Jawab Dziqa sambil tertawa kecil.
"Penghacau suasana?" Tanya Aina.
"Suara ribut di luar. Ada seorang gadis kampung-"
"Ya Ampun. Maaf banget. Aku bener bener gak tahu kalau kamu lagi melakukan hal 'romantis', Dziq. Bener, gak sengaja!"
Dziqa tertunduk sambil tersenyum malu. "Makasih juga udah nemenin saya hari ini. Ngajak saya makan malem. Di rumah gak ada siapa siapa. Makasih banget, Pak."
"Masih ada sisa makanan. Mau dihabisin?" Tanya Pak Zan sambil tertawa.
Mereka melangkahkan kaki menuju ruang makan untuk menghabiskan sisa makanan.Saat mereka hendak menghabiskan makanan, terdengar suara gaduh di luar. Seorang perempuan yang sedang bertengkar dengan laki laki.
"Apa itu, Pak?" Tanya Dziqa.
Mereka segera mendekati jendela dan melihat ada dua kelompok geng sedang bertengkar di depan rumah Pak Zan. Dziqa melihat lebih seksama. Ia melihat sahabatnya sendiri, Aina berada di situ.
"Eh, itu Aina, Pak!" Kata Dziqa.
"YaAmpun, anak itu berulah lagi!"
Dziqa dan Pak Zan keluar dari rumah itu dan segera menghampiri kerumunan orang orang yang sedang bertengkar.
"Anj*ng lu! Udah gue bilang gausah lewat di daerah gue!" Kata pemimpin geng yang pertama.
"Heh, emang ini tempat nenek moyang loe apa, Hah? Numpang lewat doang. Geer banget, ya loe!" Kata Aina.
"Eh, stop stop stop! Ada apa ini?" Tanya Pak Zan.
"Tah, orang orang itu lewat seenaknya di komplek ini!" Jawab ketua geng yang pertama.
"Eh, ini, kan bukan nenek moyang elu yang buat komplek ini. Jadi, lewat doang juga gak masalah. Lagian, ini rumah guru gue. Jadi, kalau gue mau silaturahmi suatu hari, mau dilarang apa?" Tanya Aina.
"Kan, udah ada pembagian wilayah!" Kata anggota geng yang pertama.
"Lewat doang, b*b*!" Kata Aina.
"STOP! Ardhi, bawa temen temen kamu pulang! Aina, kamu sini!" Kata Pak Zan.
"Nggeus nggeus, ah teu rame. Huuuu!"Dziqa terlihat bingung atas apa yang terjadi. Ia langsung memeluk Aina yang masih emosi. Tapi, Aina masih mau memeluk Dziqa walaupun masih kesal pada geng itu.
"Ada apa, sih sebenarnya?" Tanya Dziqa.
"Cuman mau ke sana aja. Tapi, geng itu gila banget, Dziq." Jawab Aina.
"Itu geng kamu?" Tanya Dziqa.
"Iya. Mereka geng aku. Aku sama mereka baik. Cuman suka ngelukis di tembok orang doang, kok. Gak pernah buat kerusuhan lain. Kalau geng yang tadi, mereka suka motor motoran, suka main judi judian, suka buat masalah sama kelompok lain. Walaupun cuman sama kelompok kecil. Numpang lewat doang juga dimarahin sama mereka mah." Jawab Aina.
"Kalian haus? Saya buatin minum dulu, ya." Kata Pak Zan.Aina dan teman temannya menunggu di teras rumah Pak Zan. Pak Zan menuju dapur disusul Dziqa. "Saya mau bantu, Pak." Kata Dziqa.
"Oh, iya silahkan."Pak Zan dan Dziqa menyiapkan gelas untuk sepuluh orang. Saat Dziqa hendak mengambil teh di lemari, Pak Zan juga ingin mengambilnya dan sesaat tangan mereka saling bersentuhan. Dziqa melihat kearah Pak Zan dan kemudian tersenyum. Ia kemudian menurunkan tangannya dan membiarkan Pak Zan yang mengambil teh itu.
