Tangisan

5.8K 180 2
                                    

Dziqa melihat foto itu sekali lagi dan menjawab "Iya". Aina dan Pak Zan langsung tersenyum bahagia. "Kamu inget itu?" Tanya Aina.
"Iya, aku inget. Tapi, cuman sedikit. Maksudnya, itu acara sekolah? Terus, aku disuruh masak bareng Pak Zan?" Tanya Dziqa.
Raut muka Aina dan Pak Zan yang awalnya sudah raut muka bahagia kembali menjadi sedih. "Kamu yakin ga inget itu acara apa?" Tanya Aina.
"Maafin aku semuanya. Tapi, aku gainget. Aku udah berusaha inget inget. Cuman segitu doang yang bisa aku inget." Kata Dziqa ikut sedih.
Aina mengelus punggung Dziqa. "Gak apa apa. Asalkan ada keyakinan dan usaha,kamu pasti bisa inget lagi, kok."
Pak Zan meneteskan airmatanya. Ia pun berbalik dan mengelapnya. "Saya permisi dulu." Kata Pak Zan.

Pak Zan pergi meninggalkan kamar Dziqa dan berjalan menuju toilet. Di toilet, ia menangis sejadi jadinya. Ia sudah tidak bisa membendung kesedihannya lagi. Ia tahu ia tidak layak untuk mencintai muridnya sendiri. Ia tahu ia terlalu dewasa untuk menangis seperti ini. Tapi, sebagian hatinya lagi menyesal karena dia menggelar acara pernikahan itu. Ia yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini. Andaikan ia tidak menggelar acara pernikahan itu, Dziqa tidak akan menaiki mobilnya bersama supirnya dan kemudian hilang sebagian dari ingatannya seperti ini.

Setelah cukup lama menangis di toilet rumah sakit, Pak Zan keluar dan membersihkan wajahnya di wastafel. Matanya yang sembap pada saat itu tidak pas dengan wajahnya yang sudah ditutupi kumis tipis. Ia sudah dewasa dan tidak selayaknya menangis seperti ini. Ia kembali membasuh wajahnya dengan air hingga ia merasa lebih baik.

Pak Zan berjalan menuju kantin setelah ia berhenti sesenggukan. Ia tidak ingin kembali ke kamar Dziqa karena ia tidak mau Dziqa mengetahui bahwa tadi ia telah menangis. Menangisi gadis yang usianya lumayan jauh di bawahnya. Gengsinya berhasil mengalahkan kemauannya untuk kembali ke kamar Dziqa lagi.

Di kantin, ia memutuskan untuk tidak membeli apa apa. Ia hanya duduk di pojok dengan internet gratis yang tersedia di kantin rumah sakit itu. Ia berhasil benar benar menghentikan tangisannya saat itu dengan bermain game online. Memang kekanakan, tapi itulah salah satu cara agar ia bisa menghilangkan rasa sedihnya.

Tiba tiba, seorang perempuan yang sebaya dengannya memanggil namanya dari kejauhan. Pak Zan melihat kearah perempuan itu dan melambaikannya. Perempuan itu pun langsung menghampirinya dan duduk di depannya.
"Kamu habis nangis, ya Zan?" Tanya perempuan itu. Dia adalah Mira.
"Enggak, kok." Jawab Pak Zan berbohong.
"Kamu gausah bohong sama aku, deh. Aku tahu kamu nangis. Btw, kamu ngapain di sini? Mama kamu sakit?" Tanya Mira.
"Alhamdulillah, Mama aku baik baik aja, Mir." Jawab Zan.
"Terus, siapa yang sakit?" Tanya Mira.
"Kamu inget, murid aku yang pernah aku kenalin ke kamu?" Tanya Pak Zan balik.
"Inget. Kenapa dia?" Tanya Mira.
"Waktu aku mau nikah –yang gak jadi itu, dia berencana dateng. Terus, dia dateng sama supirnya. Kata saksi mata, remnya blong dan mobilnya nabrak. Terus, kepalanya terbentur ke jendela. Dia lupa semua kenangannya yang baru. Kenangan yang dimulai saat aku pertama mengajar di sekolahnya. Ia ingat, tapi hanya sepintas. Jadi, ia hanya mengingat aku sebagai guru baru saja." Jawab Pak Zan sambil berusaha menahan air matanya yang sudah hampir jatuh.

Mira menggenggam tangan Pak Zan dan mengelusnya. "Aku tahu rasanya jadi kamu. Seseorang yang kamu cintai tiba tiba saja lupa tentang kamu." Kata Mira.
"Aku terlalu kekanak kanakan, ya, Mir?" Tanya Pak Zan.
"Enggak, kok. Orang merasakan sedih dengan cara yang berbeda, Zan." Jawab Mira.
"Aku malu aku cerita gini. Maksudnya, aku suka sama seseorang yang usianya lumayan jauh dibawahku." Kata Pak Zan.
"Kenapa harus malu? Cinta itu gak harus sama seseorang yang usianya ideal sama kamu. Aku pernah suka sama bawahan Papa aku. Tapi, aku gak malu. Aku biasa aja. Selama kamu gak suka sama sesama jenis, cinta kamu normal normal aja." Kata Mira. "Kamu gak usah sedih. Asalkan kamu selalu ada di dekat dia, aku yakin lama lama dia inget kamu lagi, kok."
"Makasih udah nenangin aku, Mir. Btw, kamu kenapa kesini? Siapa yang sakit?" Tanya Pak Zan.
Muka Mira tertunduk lesu. "Aku, Zan. Aku kontrol ke dokter." Jawab Mira.
"Hah? Kamu sakit apa, Mir?" Tanya Pak Zan.
"Sebenarnya, dari satu bulan yang lalu, aku udah divonis kanker. Tapi, kata dokter itu masih stadium satu. Masih awal banget malah. Belum ada tanda tandanya. Tapi, aku cek ke dokter cuman iseng aja. Waktu itu aku lagi nemenin Mama." Jawab Mira.
"Terus, sekarang gimana? Pantesan kamu kurusan." Tanya Pak Zan.
"Sekarang udah mulai berkembang virus kankernya. Aku harus udah muali kemo sebenarnya. Tapi, aku lagi ngumpulin biaya dulu." Kata Mira.
"Kamu butuh uang? Aku bisa bantu sebisa aku." Kata Pak Zan.
"Sebenarnya, aku bisa cari uang sendiri. Tapi, yang aku butuhkan saat ini bukan uang dari orang lain, Zan." Kata Mira.
"Terus, apa yang kamu butuh sekarang?" Tanya Pak Zan.
"Aku butuh seseorang yang mau selalu menemani aku berjuang melawan kanker ini. Bukan hanya menemani layaknya teman. Aku butuh suami. Aku mau menikah dulu sebelum aku meninggal. Aku tahu, ini egois. Karena, pada akhirnya, suamikulah yang nanti bakal menderita saat aku meninggal. Tapi, aku berfikir bahwa suamiku nanti bisa cari pengganti yang lebih baik setelah aku meninggal nanti."
Pak Zan tertunduk. "Memangnya, apa yang terjadi antara kamu sama Faris?" Tanya Pak Zan.
Raut muka Mira langsung berubah setelah pertanyaan itu dilontarkan. "Faris langsung pergi menghilang entah kemana setelah aku cerita seperti ini. Aku tidak butuh lelaki banyak uang seperti dia. Aku hanya butuh cinta yang tulus dari seorang lelaki yang nanti menjadi suamiku." Kata Mira.

I Love Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang