Selesai mengurus segala urusan administrasi, Sehun dan Irene berencana akan kembali ke tempat kost mereka. Sehun memang belum sepenuhnya sembuh, tapi ia memaksa untuk pulang karena tidur di Rumah Sakit rasanya sangatlah tidak nyaman meski di dalam ruangan VVIP sekalipun.
Mereka menaiki taxi dan terjebak kemacetan siang hari di kota Seoul yang dingin ini. Keduanya yang duduk bersebelahan berkali-kali mengeluh karena sudah hampir tiga puluh menit ini taxi yang mereka tumpangi sama sekali tidak bergerak sedikitpun. Ditambah dengan bunyi klakson dimana-mana hingga membuat telinga jadi pengang. Terlebih bagi Sehun yang masih merasakan nyeri di kepalanya dan demam yang masih belum sepenuhnya mereda. Berdiam diri dengan kebisingan seperti itu semakin menambah rasa pusing yang amat sangat. Wajahnya pun kian memucat. Sehun yang sejak tadi menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, terus bergerak dengan gelisah.
"Kau yakin tidak apa-apa?" Irene merapatkankan resleting jaket tebal suaminya lalu meremas-remas jemari tangan lelaki itu yang terasa sangat dingin sekali.
"Kepalaku benar-benar pusing."
"Apa sebaiknya kita kembali saja ke Rumah Sakit? Apa tadi kubilang, kau ini memang orang keras kepala. Sudah tahu kau masih sakit kenapa kau malah terus meminta pulang? Begini ini kan jadinya..." Irene mengomel sebal.
Ia ingin mengabaikan Sehun karena banyak membuatnya kesal, tapi entah kenapa matanya tidak bisa beralih dari lelaki itu barang sedetikpun. Apa itu terjadi karena ciuman yang mereka lakukan semalam? Irene benar-benar mengutuk dirinya kenapa disaat-saat seperti ini ia justru harus mengingat kejadian super malukan itu.
Sehun menggigil kedinginan, membuat Irene semakin cemas dan tidak tega melihatnya. Jadi gadis itu menyandarkan kepala Sehun di bahunya dan melingkarkan lengannya, kemudian memeluk tubuh Sehun erat bermaksud untuk memberinya sedikit kehangatan.
Irene kembali merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia justru dibuat bingung dengan kondisi Sehun yang sakit? Bukankah seharusnya ia senang melihat lelaki itu menderita. Nyatanya kesakitan yang sedang Sehun rasakan tidaklah sebanding dengan apa yang telah ia perbuat. Anehnya, Irene sekarang justru seakan sangat melindunginya, sialan memang.
"Kau bisa memakaikan ini untuknya, Nona," si sopir taxi memberikan sebuah syal kepada Irene.
"Ah...terima kasih paman," seru Irene. Ia pun menerima syal tersebut dengan sopan lalu melingkarkannya di leher Sehun. "Apakah begini membuatmu merasa sedikit lebih baik?"
Sehun yang memejamkan matanya tidak memiliki tenaga untuk menjawab.
"Sebentar lagi kita akan segera sampai, bersabarlah sedikit, ok."
*
Mendapat bantuan dari sopir taxi, Irene memapah Sehun masuk ke dalam kamar kostnya. Hal itu bertepatan dengan kemunculan penghuni kamar kost seberang yang semalam membawa mobil Sehun lalu menyerahkan kuncinya pada Irene.
"Apa dia sudah baikan?"
Irene menerima kunci mobil itu sambil mengangguk singkat. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lain mengenai kondisi Sehun saat ini.
"Terima kasih atas bantuan kalian semua," Irene membungkuk memberi salam hormat dan menutup pintu kamar Sehun dengan sedikit perasaan bersyukur. Ia lalu hanya duduk di tepian tempat tidur memandangi Sehun yang terpejam dengan berselimut tebal.
"Aku tidak tahu kenapa kau jadi berubah selemah ini. Tapi aku lebih suka kau menunjukan lagi wajah menyebalkanmu padaku hingga aku akan berhenti mengasihanimu dan kembali membencimu," jari telunjuk Irene sengaja berputar-putar menyentuh wajah Sehun dan jari itu kemudian berhenti tepat di ujung hidung Sehun yang bangir. Irene sengaja memencetnya seperti tombol remote tv.
![](https://img.wattpad.com/cover/79532024-288-k725729.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Playboy
FanficTinggal bersebelahan di tempat kost dengan seorang playboy itu, me-mu-a-kan! Mahasiswi jurusan Fashion Design berpenampilan biasa dan berkacamata tebal-Bae Irene-hidup dengan terus di bayang-bayangi segala sesuatu tentang lelaki tampan populer nan k...