Kami sedang melintasi rak minyak goreng saat tanpa sengaja menemukan seorang wanita paruh baya yang sedang menimbang-nimbang harga. Wanita itu berambut pendek dan bergelombang, warnanya cokelat gelap. Bibir tipisnya yang dilapis gincu merah dimiring-miringkan, seolah menampakkan benar kalau di dalam kepalanya sedang terjadi kalkulasi ketat. Tubuhnya sintal, dibalut rok terusan berwarna merah dengan motif bunga. Ia juga mengenakan flat shoes warna senada.
Tatkala kami mendekat, ia menoleh. Awalnya dengan ramah ia tersenyum padaku. Tetapi saat melihat Martijn yang sedang memeluk kotak pasta di dalam troli, ia mendelik kaget, seakan Martijn tak ubahnya seekor mutan kera. Well, Martijn kan memang spesies langka.
Dan yang lebih mengagetkan lagi, wanita itu mengenal Martijn.
"Martijn? Ya ampun, Martijn Garritsen?"
"Ah, Bibi Margot! Sedang berbelanja?" sapa Martijn, seolah duduk di troli sambil mengobrol adalah hal paling lumrah di muka bumi ini.
Yang disapa tertawa. "Ya, begitulah," jawabnya—menurutku itu jawaban yang paling tepat. Lagi pula, Martijn bodoh sekali. Sudah jelas perempuan itu sedang berdiri di pusat perbelanjaan sambil memegang dua minyak goreng di tangannya. Ia lalu berkata lagi, "Kau disuruh ibumu berbelanja, ya?"
"Bukan," jawab Martijn. "Ini untuk rumahku sendiri. Sekarang aku tinggal bersama pacarku."
"Begitukah?" Wanita bernama Margot itu mendelik. Ekspresinya menggambarkan ketidakpercayaan. Mungkin dipikirnya, bagaimana bisa lelaki seperti Martijn tinggal bersama pacarnya?
"Ya, Bibi. Omong-omong, perkenalkan, ini dia pacarku." Martijn menunjuk wajahku dengan telunjuknya.
"Bibi sudah tahu," katanya. "Sonja, kan?"
Aku kaget sekali.
"Bukan, namanya Gretchen," sanggah Martijn. "Aku sudah tidak bersama Sonja lagi."
"Wah, begitu? Ya ampun, Bibi kira dia Sonja. Soalnya wajahnya mirip sekali."
Aku semakin kaget.
"Tidak, tidak mirip. Yang ini lebih cantik," kata Martijn. Aku salut dia tidak mengataiku gila.
Bibi Margot terkekeh. "Tapi pacarmu memang selalu cantik, bukan? Bibi masih ingat pacarmu yang satu lagi, Lynn kan namanya? Dia baik."
Ya Tuhan, aku tergoda untuk menanyakan nomor telepon bibi tua ini demi mengorek informasi mengenai riwayat asmara Martijn.
"Semua pacarku baik, Bibi. Tapi Lynn dan Sonja sudah kubuang ke Saturnus," canda Martijn, membuat si bibi tertawa. Mereka mengobrol lagi sedikit tentang kunjungan ke rumah sebelum wanita itu akhirnya berlalu dengan satu minyak goreng di troli.
"Mengapa kau tidak pernah menceritakan padaku kalau kau punya dua mantan pacar?" tanyaku.
"Apa pentingnya? Yang penting kan pacarku saat ini cuma satu." Dengan santainya ia berkata begitu. "Ambil yang itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfiction"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...