Ayah tidak menanyakan apa pun saat kuminta kembali kunci laci lemari yang kutitipkan padanya beberapa tahun silam. Menjelang janji makan malam, aku memasukkan anak kunci ke dalam slot laci dan memutarnya. Jantungku berdebar. Sudah lama sekali aku tidak menyentuh benda-benda di dalamnya.
Kupikir semua benda yang ada di dalam laci itu telah rusak, tetapi sebaliknya. Masih utuh walau sedikit berbau apek. Kutarik laci itu hingga keluar, lalu kuletakkan di lantai. Benda-benda ini tidak terusik sedikit pun. Topi sombrero, sepasang sandal harimau, delapan kawanan bebek karet, album foto bersampul "M + G", dan tiga buah foto dari acara pernikahan Ilse.
Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan atau dilakukan Martijn terhadap benda ini. Yang jelas, kuharap dia tidak menyuruhku menyimpannya kembali. Hanya dengan menyentuh salah satu benda itu saja bagai menyayat luka lama. Kupindahkan semuanya ke dalam sebuah kotak kardus.
Kardus itu kutempatkan tepat di sebelahku. Mobil terus melaju meninggalkan kediaman keluarga Himmerstrand. Selama di perjalanan, aku mencoba memikirkan apa saja yang akan kukatakan pada Martijn nanti, dan bagaimana harus bersikap.
Aku tiba di alamat rumah baru orangtua Martijn yang ia kirimkan padaku tadi pagi melalui pesan teks. Rumah itu terlihat jauh lebih besar ketimbang rumah keluarga Garritsen yang dulu. Aku cukup senang karena tampaknya Mr. Garritsen dan keluarganya kini bisa hidup lebih baik. Kutekan bel satu kali dan menunggu dengan gugup. Kardus ada di dalam pelukanku.
Terdengar kenop pintu berputar dari dalam. Daun pintu bercat cokelat tua itu terayun, menampakkan wajah seorang perempuan yang semalam kulihat menyentuh tangan Martijn. Napasku sempat tercekat sesaat. Buru-buru aku menghalau rasa gugup dari sekujur tubuhku dan mencoba tersenyum.
Belum sempat aku bersuara, perempuan itu berkata, "Oh, kau petugas pengantar barang?"
Terperangah, aku memandangi diri sendiri. Dungaree Tommy Hilfiger, crop top tee Supreme, dan sneaker Enfants Riches Deprimes yang kukenakan tampaknya membuatku mirip tukang pos di mata perempuan itu. Ini pertama kalinya aku merasa terhina.
"Bukan. Aku datang kemari untuk menemui Martijn," jawabku.
Dan untunglah, sosok yang menjadi alasanku datang kemari muncul dengan senyuman. "Rupanya Gretchie sudah datang. Ayo masuk," katanya. Aku mengangguk dan melangkah penuh kemenangan melewati perempuan yang kini memasang raut wajah bersalah itu.
Rumah itu ramai seakan tengah merayakan Thanksgiving. Mr. Gerard tampak berbinar saat aku datang memeluknya, begitu pula istrinya yang sedang sibuk memasak di dapur. Laura juga ada di sana; dia memuji pakaianku tepat di depan si perempuan yang tadi menyambutku.
"Kau kelihatan menakjubkan, Gretchen," kata adik perempuan Martijn itu. "Aku tahu semua ini. Enfants Riches Deprimes, Supreme, dan Tommy Hilfiger." Ia berdecak kagum seperti pengamat mode.
"Berhentilah bertingkah seperti manusia purba, Laura," kata Martijn. "Jangan ganggu Gretchie."
Aku baru tersadar, sampai hari ini Martijn pun masih memanggilku dengan nama itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Hayran Kurgu"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...