Meski luas, area rumahku memang tidak pernah ramai. Kalau ramai pun hanya pada saat keluarga besarku bertandang atau saat Ibu dan Ayah merayakan hari ulang tahun pernikahan-atau ketika aku mengadakan pesta kolam saat SMA kalau Ibu dan Ayah sedang ke luar kota mengurus bisnis. Sama seperti hari-hari biasa lainnya, rumah itu tetap sepi.
Para pelayan yang tadinya sedang mengobrol riang segera berjejer menyambut kedatanganku. Mereka tampak terkejut dengan kepulanganku. Wajar saja, sebab Ayah dan Ibu tidak pernah tiba di rumah sebelum pukul sembilan malam, dan kehadiranku sebagai majikan yang datang tiba-tiba ini tentulah mengusik acara bersantai mereka.
Aku terdiam memandangi koridor yang terbentang lurus di depanku. Orang-orang berpakaian pelayan itu berbaris menatapku di kiri dan kanan. Sudah berbulan-bulan aku tidak menjejakkan kaki ke rumah ini dan aku merasa asing dengan sikap mereka. Padahal dulu lumrah saja bagiku melewati pagar manusia di kiri-kanan koridor itu.
"Semuanya ... pergi saja," kataku canggung. Mereka semua keheranan mendengar ucapanku. "Maksudku, tidak usah menyambutku seperti ini. Lakukan saja kegiatan yang kalian lakukan sebelumnya."
Tidak ada yang beranjak. Entah karena mereka keheranan atau takut. Aku menghela napas. "Bubarlah, tidak usah berlebihan seperti ini. Aku tidak perlu sambutan. Aku cuma mau pulang," ujarku. Setelah itu barulah mereka pergi setelah mengangguk takzim. Aku merasa risi.
Kutolak pula seorang pelayan yang hendak membawakan koperku. "Aku punya tangan dan aku masih kuat," ujarku saat ia memaksa membawakan. Ia mengalah namun menyertaiku hingga tiba di kamarku sendiri.
Kamar tidurku di rumah ini jauh lebih luas ketimbang kamar tidur yang ada di apartemenku. Benda-benda di dalamnya tidak terusik sedikit pun sejak aku pindah. Kasur yang amat besar dan empuk, lemari yang menjulang tinggi dengan banyak pintu, jendela raksasa yang menghadap ke kolam renang di samping rumah, dan sebuah televisi layar datar yang besarnya mengalahkan tubuhku sendiri.
Aku merasa aneh saat berada di kamar ini.
Apalagi saat menjatuhkan diri di kasur.
Percuma saja rasanya aku memiliki kasur seluas dan seempuk ini, namun hanya ditiduri seorang diri saja.
Sedangkan di apartemenku, kasurnya bahkan tidak ada apa-apanya ketimbang kasur yang sekarang kubaringi. Tidak terlalu empuk dan tidak terlalu luas.
Tapi setidaknya aku membaginya bersama Martijn.
Kuhalau pikiran itu dari kepalaku.
Tak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku mencoba mengecek ponsel dan mencoba mengajak teman-temanku mengobrol. Tetapi tidak ada yang membalas. Mereka semua sedang sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Aku merasa sendirian. Lagi.
Kemarin-kemarin, selalu ada orang yang bisa diajak mengobrol di rumah, entah itu penting atau tidak. Orang itu adalah Martijn. Aku baru menyadari bahwa hanya dengan dialah aku tidak kehabisan bahan obrolan. Selalu ada hal yang bisa dibicarakan atau dibahas. Dia selalu mendengarkan dan dia juga selalu punya cerita. Tidak pernah kami terjebak keheningan yang canggung, sebab bila kami bersama, obrolan akan terus bersambut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfiction"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...