"Yah," Chong mendesah pelan, "pacarku seorang fotografer untuk majalah National Geographic. Sering bepergian ke banyak tempat. Jadi, kami tidak punya banyak waktu bersama."
Aku sedang berada di dapur bersama Max, Eston, Rajeev, dan Alicia malam itu, mendengarkan Chong berkeluh kesah mengenai pacarnya yang sudah satu bulan tidak kembali ke Amsterdamme. Cristoffer muncul sambil menyedot es Americano di gelasnya, terheran-heran memandangi kami yang seakan asyik menontoni Chong mengelap meja dapur.
"Mengapa kau tidak menghubunginya?" tanya Rajeev, diikuti goyangan kepala.
"Aku menghubunginya, tapi tidak terlalu sering. Aku tidak mau menjadi pengganggu. Apalagi, ini menyangkut pekerjaan sekaligus hobinya," sahut Chong. Cristoffer masih keheranan.
"Apa dia bilang padamu kapan dia akan kembali?" tanyaku.
"Dia punya jadwal yang tidak menentu," kata Chong. "Kadang bila dia berkata akan pulang besok, bisa saja ia baru datang lusa. Jadwal penerbangan bisa saja menyulitkan, begitu katanya."
Kami semua mengangguk seirama. Cristoffer yang tampaknya sudah memahami situasi pun turut mengangguk. Jam kerja telah selesai dan waktunya pulang.
Hari ini Martijn libur. Namun pagi tadi, selain mengatakan bahwa dia ingin belajar menjadi pacar romantis sehari penuh, dia bilang dia akan menjemputku—bukankah itu manis? Padahal jarak rumah kami dengan Rozen en Hart amat dekat. Cristoffer sedang mengunci pintu kafe saat aku melihat Martijn berdiri di depan birai bersama seorang lelaki bertubuh jangkung yang ternyata adalah pacar Chong.
"Honey, kau pulang?" Chong tampak kaget. Pria jangkung dengan ransel yang terlihat rumit itu menoleh bersamaan dengan Martijn.
"Ya, maaf aku tidak mengabari," ujarnya. Wajahnya mirip Mark Zuckerberg. Chong pun memeluknya, sementara Martijn menghampiriku.
"Sudah lama menunggu?" tanyaku.
"Aku sudah datang sejak tadi, tapi aku mengobrol dengan Ayah," jawabnya. "Ayo pulang."
Begitu hendak menggamit lengan Martijn, kulihat pacar Chong tiba-tiba bertekuk lutut di depan wanita Asia itu. Sontak aku dan Martijn berhenti melangkah, menontoni saat pria itu mengeluarkan sebuah kotak beledu kecil berwarna merah. Cristoffer dan kawan-kawanku yang lain pun melakukan hal yang sama sepertiku. Bahkan beberapa orang yang sedang lewat tiba-tiba berhenti dan ikut memandangi apa yang sepasang kekasih itu lakukan.
"Kurasa tidak ada wanita yang bisa mengerti semua hal mengenai diriku termasuk kesibukanku. Tapi kau adalah pengecualian untuk itu," kata pacar Chong. "Kau mau kan menikah denganku?"
Aku menganga takjub. Sambil berlinang air mata, Chong mengangguk tanpa bisa berkata-kata. Ia mengulurkan tangannya, membiarkan calon suaminya memasangkan cincin ke jari manisnya yang kecil. Pria itu bangkit dan memeluknya erat-erat. Kami semua yang menontoni hal itu bertepuk tangan dan mengucapkan selamat.
Kecuali Martijn, yang hanya menatap dan menggaruk-garuk kepala.
"Ya ampun, Martijn, yang tadi itu romantis sekali!" Aku mengguncang bahunya dalam perjalanan pulang.
"Masa sih?" Martijn menyipitkan mata.
"Apa maksud responsmu itu? Itu romantis! Seorang pria bertekuk lutut untuk wanitanya, lalu memintanya untuk menghabiskan hidupnya bersamanya ... ya ampun, beruntung benar Chong!"
"Sungguh, kurasa kau harus berhenti menonton film romansa. Itu membuat jiwamu terganggu," ujar Martijn, masih menyipitkan mata.
"Tadi pagi kau bilang kau ingin belajar menjadi pacar romantis. Memangnya yang tadi itu tidak ada dalam pelajaranmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfiction"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...