"Aku kan masih berusia sembilan belas tahun. Lalu mengapa kita semua mempermasalahkan status lajangku?"
Ayah dan Ibu berbalas pandang sejenak begitu ucapanku selesai, kemudian menatapku seakan pagi itu aku berubah menjadi iguana di hadapan mereka. Percakapan mengenai "Gretchen yang tidak punya pacar" selalu menjadi topik terhangat di dalam keluargaku, terutama di meja makan.
Bukan keinginanku untuk tidak punya pacar. Kenyataannya, aku sangat menginginkannya. Bukankah menyenangkan jika kita memiliki seseorang yang bisa diajak berkencan setiap minggu, diperkenalkan pada semua sahabat dan keluarga, difoto untuk mengisi album foto bertulisan "pacarku tercinta", dan yang paling penting, bisa dipeluk dan dikecup kapan pun kita mau?
Saat aku masih duduk di bangku sekolah, aku ingin sekali memiliki pacar. Bahkan keinginan itu menggebu-gebu hingga membuatku selalu bersemangat untuk datang ke sekolah. Aku membayangkan bahwa kisah cintaku akan semanis kisah-kisah film atau novel, di mana seorang gadis polos menyukai seorang kapten tim futbol dan ternyata ia menyukainya balik, lalu begitulah, setelah acara pesta dansa yang menakjubkan berubahlah status antara si gadis polos dan si kapten tim futbol menjadi sepasang kekasih.
Namun sayangnya, kenyataan memang gemar mengkhianati keinginan.
Bayangan manisku mengenai jatuh cinta itu harus kandas ketika kudapati bahwa mencari pacar tidak segampang yang ada di film dan novel. Disebut mitos jika seorang gadis polos berhasil menjambret hati seorang kapten tim futbol yang amat populer. Bahkan untuk menemukan pacar yang bertampang standar pun sulitnya bukan main. Kalaupun kita berhasil mengencani seorang lelaki yang tampan, pada kencan kedua, dia pasti mengaku dirinya homoseksual.
Sejak kegagalan menemukan pasangan pesta dansa sewaktu SMA, harapan untuk memiliki pacar pun harus digeser menjadi urutan terbawah dalam daftar keinginanku. Lagi pula, aku masih sangat muda dan ingin bermalas-malasan dulu—ya, aku memang berbeda ketimbang orang-orang yang begitu memanfaatkan masa mudanya. Dan inilah yang membuat kedua orangtuaku begitu prihatin padaku.
"Kami hanya tidak ingin menjadi orangtua yang buruk, Gretchen Sayang," ujar Ibu. Tatapannya begitu memelas.
"Memangnya di mana korelasi antara menjadi orangtua yang baik dengan aku yang tidak punya pacar?" tanyaku, amat heran dengan pernyataan Ibu.
"Yah," Ibu menunduk sedih, memandangi sisa makanan di piring seakan noda-noda itu tengah tersedu, "kau tahu kalau kami berdua sangat sibuk. Kami tidak ingin kesibukan kami menjadi alasan untuk tidak memperhatikan dirimu."
Kedua alisku otomatis bertaut.
Kedua orangtuaku memang amat sibuk, sebab mereka sesama menggeluti dunia bisnis. Ayah adalah pemilik seluruh properti bangunan yang ada di alun-alun kota Amsterdamme—maksudku benar-benar seluruhnya, mulai dari toko kelontong hingga toko sepatu, baju, dan yang lainnya. Sedangkan Ibu mengelola sebuah clothing-line bernama Gertrude's Secret. Yah kau tahulah, Gertrude's Secret adalah merek pakaian dalam yang amat populer karena dilengkapi dengan first aid kit, dan kantung untuk menyelipkan kartu ATM. Tak lupa benda ciptaan ibuku itu dilengkapi dengan Wi-Fi.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri. Maksudku, aku sudah dewasa dan bisa menentukan jalan hidupku sendiri," ujarku. "Tak bisakah kalian berdua bertingkah seperti orangtua pada umumnya? Aku hanya ingin kebebasan."
Orangtua teman-temanku memang tidak ada yang bertingkah aneh layaknya ibu dan ayahku. Mereka semua memberikan sebuah kepercayaan berupa kebebasan untuk teman-temanku dalam menentukan apa yang akan mereka lakukan dalam hidup. Kadang, aku bertanya-tanya, di toko online mana aku bisa mendapatkan orangtua semacam itu—karena katanya kita bisa mendapatkan apa pun di toko online.
Ayah berdehem usai menuntaskan sarapan. Ia memandangku dengan saksama. "Baiklah, jika itu yang kau inginkan."
"Sungguh?" Aku semringah.
"Tapi setelah kau menyelesaikan tugas ini."
Ayah memberi kode pada asistennya yang sedang berdiri di belakang. Pria yang mirip rapper Pitbull itu membawakan sebuah tas koper berwarna hitam dan menyerahkannya kepada Ayah. Ayah menyambutnya, mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tas yang ia letakkan di meja itu. Ia menyerahkan semuanya padaku. "Kau harus menyelesaikan tugas yang ada pada semua lembar itu dengan sungguh-sungguh."
Rahangku seakan jatuh begitu saja ke lantai. "Maksud Ayah, aku harus mengelilingi alun-alun kota, mendata semua properti di sana, dengan mendatangi masing-masing penyewa?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk santai, seakan pekerjaan ini bisa dilakukan sambil tidur.
"Untuk apa aku melakukan ini?" tanyaku lagi.
"Untuk membuktikan kalau kau memang patut dipercaya," sahut Ayah.
"Tapi aku kan anak Ayah!"
"Itu bukan alasan."
Aku mendengus kesal, memandangi Ayah yang kini sedang mengelap mulut dengan serbet makan. Ibu justru terkikik-kikik melirikku.
"Oh, dan satu lagi," ujar Ayah ketika aku baru saja mengangkat pantat dari kursi.
"Apa?"
"Kau harus punya pacar."
Aku mendengus lebih keras lagi.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fiksi Penggemar"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...