Untuk menyegarkan ingatan, sebelum kalian baca bab ini, ada baiknya kalian baca bab 2 dulu (judulnya He Definitely Smells Like Chocolate).
Oya, ini ceritanya diambil dari sudut pandang Martijn Garritsen.
Judulnya: She Definitely Looks So Hot
+×+×+×
Aku tak bisa memahami mengapa orang-orang ingin sekali menamatkan masa SMA. Well, maksudku, pada tahun terakhir di SMA, aku juga merasa demikian; setiap detik menuju hari kelulusan melambangkan impian-impian yang bermunculan liar di dalam benak, seperti menemukan teman-teman baru yang menyenangkan di dunia perkuliahan, pesta mahasiswa tanpa berkesudahan, rencana-rencana kehidupan untuk sepuluh tahun ke depan, dan tentunya, terbebas dari peraturan di rumah.
Tapi, pada kenyataannya, tak satu pun impian itu berhasil terjamah olehku. Sedetik setelah dinyatakan lulus dari SMA, resmilah aku menyandang status sebagai pengangguran. Ayah dengan baik hati memperbolehkanku membantunya di toko keju keluarga kami-dan membayarku seperti membayar karyawan sungguhan-namun itu tetap tidak membuatku merasa lebih baik.
Aku sama sekali tidak membenci toko keju Gerard's. Justru, tempat inilah yang menjadi wadah bermainku semasa kecil. Selama beberapa generasi, toko ini pulalah yang menjadi tiang penyangga kehidupan keluarga Garritsen. Tetapi tetap saja, bekerja di tempat ini membuatku tidak merasa lebih baik. Gerard's terus mengalami kemerosotan sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Satu per satu pegawai dipecat, produksi berkurang, Ayah dan Ibu menjual barang-barang, dan aku gagal mendaftar kuliah-setelah gagal menamatkan sekolah musik dan harus pindah ke sekolah biasa. Adikku Laura bahkan tidak bisa mengikuti kursus dan harus melambaikan tangan pada impiannya bersekolah di salah satu sekolah swasta Amsterdamme.
Bahkan, pada hari Minggu di musim panas seperti saat ini, aku tetap tidak bisa menikmati hidup. Aku punya kewajiban membantu Ayah di tokonya-sebenarnya Ayah tidak pernah memaksaku untuk bekerja, tetapi karena tidak ingin menjadi anak tidak tahu diri yang melahap gaji buta, tentu aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Setiap kali aku berada di toko kecil ini, aku pun selalu dilanda kebingungan yang sama: harus melakukan apa?
Jarang sekali ada pembeli yang datang kemari. Kalaupun ada, Ayah-lah yang akan melayani mereka. Yang kulakukan biasanya hanyalah mengepel lantai, mengelap kotak kaca, merapikan rak yang kosong hampir setiap waktu, atau menempelkan label harga pada keju. Atau yang lebih parah, membersihkan alat pembuat keju dan juga mengangkat berpuluh-puluh kilogram bahan seperti buruh kasar. Pekerjaan ini lama-kelamaan menjadi olahraga pula bagiku-aku cukup berotot karenanya.
Sehari-hari, tak jarang kurenungkan nasibku yang malang melintang ini. Bahkan waktuku untuk merenung jauh lebih banyak ketimbang waktu bekerja. Selalu aku bertanya-tanya, bagaimana bisa aku terjebak dalam rutinitas yang menyedihkan, berdiam diri di dalam toko yang bahkan kalah ramai ketimbang pemakaman, di lahan seriuh dan seluas alun-alun Amsterdamme? Gigolo pun sepertinya jauh lebih beruntung ketimbang aku.
Malam itu, karena sungguh tidak tahu harus melakukan apa, kuputuskan untuk membersihkan salah satu kotak kaca yang berada di dekat pintu masuk. Sejujurnya pagi tadi aku telah melakukan hal yang sama; dan betapa mengejutkannya, kutemukan seekor laba-laba mungil sedang memproduksi habitat di sana. Maksudku, yang benar saja? Rak ini bahkan baru beberapa jam dibersihkan. Tak bisa kubayangkan bila toko ini harus ditinggalkan hingga berabad-abad. Barangkali beratus-ratus koloni laba-laba akan menduduki tempat ini. Mungkin juga mereka akan membuat tempat hiburan malam dan motel layaknya di Las Vegas, agar toko ini terasa ramai.
Selagi merutuki laba-laba tidak tahu diri yang membebani hidupku, bel di pintu tiba-tiba bergemerincing, menandakan ada orang yang datang. Sambil berjongkok di balik kotak, kutengok sedikit; ada paha yang mulus berhenti tepat di depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fiksi Penggemar"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...