Bab ini cuma potongan cerita dadakan yang muncul di otak saya. Saya kasih judul...
"The Cockroach Tragedy"
Enjoy. :)
+×+×+×
"Martijn! Martijn! Bangun! Ada kecoa di kamar mandi!"
Martijn menyembulkan kepala dari balik selimut, menatapku dengan mata setengah terbuka. "Mengapa kau sepanik itu? Bunuh saja dia," katanya santai. Ia kembali merebahkan kepala ke bantal.
"Tidak semudah itu! Kau tidak tahu ya kalau kecoa bisa tahan terhadap serangan nuklir? Mereka juga bisa hidup tanpa kepala! Kalau orang lemah seperti aku yang membunuhnya, mana mungkin dia mati!" seruku panik. Martijn tetap bergeming di kasur, sementara aku yang sudah ketakutan setengah mati menarik selimut dari tubuhnya. Dia mengerang kesal.
"Jangan ganggu aku! Aku mau tidur!" seru Martijn sambil kembali menarik selimutnya. Tapi tentu saja aku tidak mau kalah.
"Ayo bangun dan bunuh kecoa itu untukku!" teriakku keras. Aku pun melompat ke pinggang Martijn dan mengguncang bahunya.
"Bunuh saja sendiri!" Martijn berusaha menjauhkanku dari atas tubuhnya, seperti mendorong seonggok barang tidak berguna.
"Bunuh kecoa itu untukku atau aku akan menceraikanmu!"
Martijn mengerang lagi, lalu berusaha duduk dengan mata berat. Dia bertanya dengan nada yang tidak sungguh-sungguh, "Mana kecoanya?"
Aku menunjuk ke arah kamar mandi. Kami pun sama-sama beranjak dari kasur dan mengendap-endap seperti akan memergoki maling. Martijn meraih salah satu sandal hotel dan mengangkatnya dengan posisi siaga. Tapi aku mencegahnya.
"Jangan pukul kecoa itu," ujarku.
"Kau sebenarnya mau apa? Tadi kau bilang aku harus membunuh kecoa itu," ucap Martijn sebal. Dia menatapku jengkel.
"Kecoa tidak boleh dipukul. Kau tidak tahu ya kalau di dalam perut kecoa ada cacing-cacing yang tidak bisa mati? Kalau cacing-cacing itu masuk melalui pori-pori kulitmu, kau bisa terkena penyakit berbahaya!"
Ekspresi Martijn seketika berubah. Dia memandang ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Sekilas, ketakutan tampak di wajahnya. Dia kini bersikap lebih waspada, bagai anggota CIA yang nyaris terbongkar penyamarannya.
"Kalau kau mau membunuh kecoa, kau harus menyemprotnya dengan semprotan anti serangga," ungkapku selagi kami masih berhenti agak jauh dari kamar mandi.
"Kalau kau tahu cara membunuh kecoa, lalu mengapa tidak kau saja yang melakukannya?"
Aku menggeleng ngeri. "Aku takut. Kau tidak tahu ya kalau kecoa bisa mendeteksi ketakutan? Semakin kita takut, dia akan semakin mendekat."
Alis Martijn bertaut. "Bagaimana kau bisa tahu banyak soal kecoa sih?"
Aku mengangkat bahu dan mengawasi pintu kamar mandi. "Itu tidak penting, yang penting sekarang-AH! ITU DIA KECOANYA!"
Saat aku menolehkan pandangan pada Martijn, laki-laki itu sudah tidak lagi berada di sebelahku. Kutengok ke belakang; dengan langkah seribu Martijn meninggalkan kamar sambil mengangkat sandal seperti manusia purba. Antena si kecoa bergerak-gerak, seakan mendeteksi ketakutan yang tercipta di atmosfer ruangan. Tanpa pikir panjang aku turut berlari sambil berteriak, "MARTIJN BODOH! BODOH KUADRAT! SUAMI MACAM APA KAU INI?!"
Dan yang lebih bodoh, kudapati Martijn berada di ruang depan, berjongkok di atas meja sambil memasang tampang ngeri. Dia memegang sandal bak sedang menghunus pedang. Aku meloncat ke atas kursi dan kembali berteriak, "Buat apa kau naik ke atas meja?! Kau tahu kan kalau kecoa bisa memanjat!"
"Kau sendiri, mengapa kau naik ke atas kursi?" katanya dengan nada menuduh.
"Kau jangan mencari-cari kesalahan orang lain! Kau kan seharusnya membunuh kecoa itu, bukannya malah berlari ketakutan!"
"Aku tidak takut pada kecoa! Tapi kau membuatku panik!" serunya.
"Kalau begitu sekarang pergilah kembali ke kamar dan musnahkan kecoa bodoh itu!" seruku lagi.
"Tapi kita tidak punya semprotan anti kecoa," kata Martijn lemah. Dasar! Bilang saja kalau kau takut!
"Kau kan bisa menangkapnya lalu membuangnya ke luar," usulku. Tetapi sepertinya usulanku tidak didengarkan oleh Martijn, sebab kini ia tengah mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Dia lalu berhenti, seakan telah mendapatkan ide brilian. Perlahan tapi pasti, dia beranjak dari meja, meninggalkan sandalnya, dan kembali memasuki kamar.
Aku pun mengekornya dalam jarak yang agak jauh. Martijn mengamati lantai kamar. Tidak ada apa pun. Entah ke mana perginya kecoa itu. Dengan hati-hati Martijn mendekati nakas dan membuka salah satu laci.
Dan saat itulah, serangga berkaki enam itu muncul dari bawah kasur.
"MARTIJN! KECOA ITU ADA DI BELAKANGMU!"
Sontak Martijn meloncat ke atas kasur, lalu dengan sigap menyemprot kecoa yang sedang lewat itu dengan... pengharum ruangan.
Kecoa yang kemungkinan telah dewasa itu tidak mati, hanya melenggang dengan riang menerobos kepulan gas berwangi bunga krisan, kembali menuju kamar mandi. Kuyakin kalau kecoa itu bisa tersenyum, dia pasti merasa sedang menjadi bintang iklan pengharum ruangan sambil memamerkan giginya. Kuyakin dia kini sedang menertawakan kebodohanku dan Martijn di kamar mandi.
Martijn menoleh ke arahku, sementara aku memandangnya tak percaya. "MENGAPA KAU MENYEMPROTNYA DENGAN PENGHARUM RUANGAN? KAU MAU DIA MENJADI KECOA YANG WANGI, BEGITU?"
Martijn mengembalikan pengharum ke dalam nakas dan terduduk. "Sudah kubilang, kau membuatku panik."
Tak mau masalah kecoa ini berangsur lebih lama, aku pun menelepon pemilik vila dan menyampaikan keluhanku. Si pemilik vila bilang dia akan segera mengirimkan bala bantuan untuk memusnahkan kehadiran kecoa itu.
Tunggu saja kau, kecoa. Nikmati saja tubuhmu yang wangi untuk saat ini. Setelah itu, nyawamu akan khatam dilibas semprotan anti serangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfic"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...