[41]

4.5K 430 52
                                    

"Apa kau pernah merasa bosan karena melewati jalan yang sama setiap pulang?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa kau pernah merasa bosan karena melewati jalan yang sama setiap pulang?"

"Entah mengapa saat kau mengatakannya, aku mulai merasa kalau itu memang membosankan."

Martijn dan aku baru beberapa meter meninggalkan toko ayahnya ketika pertanyaan tersebut tercetus dari mulut lelaki itu. Memang, setiap pulang bekerja, aku dan Martijn selalu melewati jalan yang sama, sebab rute yang kami tempuh hanya memakan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Sampai di pertigaan jalan, ketika sedang menunggu lampu lalu lintas berubah warna, Martijn meraih lenganku dan berbalik. "Bagaimana kalau kita memutar saja? Barangkali itu bisa menghilangkan kebosanan kita," usulnya. Begitu kuiyakan, kami kembali berjalan melewati jalur pedestrian yang sama.

"Menurutku, musim gugur kali ini tidak sedingin tahun lalu," kataku membuka obrolan. "Aku tidak perlu mengenakan mantel jika bepergian ke luar."

Martijn melirikku yang sedang menarik ritsleting jaket. "Ya, dan bukankah sangat boros tempat bila kau menjejalkan mantel-mantelmu yang jumlahnya berlusin-lusin ke lemari di rumah kita?"

"Aku tidak punya berlusin-lusin mantel. Mantelku cuma ada dua puluh satu."

"Bahkan orang yang tinggal di North Pole saja tidak punya mantel sebanyak itu, Gretchie." Martijn menghela napas.

"Well, kalau begitu kasihan sekali mereka," sahutku.

"Kau kan punya banyak sekali baju," ujar Martijn, "lalu mengapa sih kau mengenakan baju yang itu-itu saja?"

"Apanya yang itu-itu saja? Aku selalu mengenakan pakaian yang berbeda kok."

"Bukan, maksudku mengapa kau selalu mengenakan baju yang modelnya sama? Padahal kau punya banyak sekali pakaian bermodel lain. Seperti bikini misalnya."

"Lalu kau ingin aku mengenakan bikini di rumah? Untuk apa?"

Martijn mengangkat bahu. Dengan ringannya dia berkata, "Entahlah, untuk membuat pacarmu senang?"

Aku memutar bola mata. "Aku tahu ke mana arah pembicaraanmu."

Martijn tidak menyahut. Dia hanya tersenyum menahan tawa. Kedua tangannya terselip ke dalam saku jaket—hari ini aku tidak lupa membawa jaket sendiri, bukankah itu hebat?

"Martijn, omong-omong, kapan kau akan mengajakku berkencan romantis?"

Mendengar kata "romantis", Martijn langsung menoleh. Kedua alisnya terangkat amat tinggi. "Kau masih tidak bisa menerima kenyataan kalau aku ini bukan orang yang romantis, ya?"

Aku menggeleng. "Tidak. Sama sekali tidak bisa. Dan aku tidak peduli, bagaimanapun caranya, kau harus menjadi pacar yang romantis."

Martijn memutar bola mata. "Memangnya kau pikir 'menjadi romantis' itu bisa dilakukan semudah menyikat gigi?"

Boyfriend with Benefits Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang