Tak terasa sudah satu minggu kuhabiskan dengan bekerja di Rozen en Hart. Atas usulanku, Cristoffer telah memasang pengeras suara di dalam kafe dan memutar musik Jazz sepanjang waktu. Aku dan para pegawai lain juga cepat akrab. Mereka semua orang-orang yang menyenangkan, meskipun penampilan mereka kadang membuatku menggelengkan kepala.
Beberapa menit sebelum kafe ditutup, kami biasanya akan mengobrol di salah satu meja sembari menyesap latte. Cristoffer adalah bos yang baik. Dia sangat peduli pada kami semua, hingga menanyakan apakah ada kesulitan atau tidak selama kami bekerja. Sejauh ini, aku belum mengalami kesulitan apa-apa. Begitu pula dengan Chong, Max, Eston, Alicia, dan Rajeev.
"Ah, aku punya sesuatu untukmu, Gretchen," kata Cristoffer di tengah-tengah obrolan menyenangkan kami mengenai film What Happens in Vegas. Cristoffer merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan sebuah papan nama bertuliskan "GRETCHEN". Pria itu tersenyum dan meletakannya di depanku.
Aku mengambilnya dan menatapnya lekat-lekat. Kadang, aku merasa aneh bekerja di sini; menjadi pelayan biasa padahal aku bisa saja mendirikan kafe sendiri. Namun aku merasa amat senang. Papan nama pemberian Cristoffer bagiku adalah sebuah penerimaan. Sebuah penerimaan untuk sebuah tim yang diisi orang-orang baik. Aku tersenyum amat lebar dan berkata, "I'm so privileged to have this," hingga membuat mereka tertawa.
Saat aku dan Martijn berjalan bersisian menuju rumah, aku menceritakan perasaanku karena mendapat papan nama itu. Martijn malah terkikik.
"Kau sangat lucu," kata Martijn kemudian. "Mendapat papan nama saja sudah membuatmu kegirangan."
"Ini sangat istimewa," kataku. "Aku merasa mereka semua adalah teman-temanku, bukan sekadar rekan kerja."
"Baguslah kalau kau merasa begitu," kata Martijn. "Aku senang kau tidak mengeluh."
"Oh, mereka memperlakukanku dengan baik. Beberapa pelanggan pun kadang memujiku cantik. Jadi aku tidak akan mengeluh."
Martijn terkikik lagi. "Jadi kau tidak akan mengeluh asalkan dibilang cantik?"
Aku mengangkat bahu. "Mungkin."
Kami terus melanjutkan langkah. Jalanan selalu sepi setiap aku dan Martijn selesai dari pekerjaan kami. Lampu-lampu jalanan menyala, menyirami trotoar dengan cahaya putih. Di tengah suasana yang nyaman itu, aku merasakan sesuatu di perutku.
Aku berhenti dan memeganginya. Martijn ikut menghentikan langkah, menatapku heran.
"Ada apa?" tanyanya.
Telapak tangan dan kakiku tiba-tiba terasa dingin, diikuti rasa nyeri yang mendera tiba-tiba di dalam perutku. Aku membungkuk, hampir tak kuat melanjutkan langkah. Martijn bertanya sekali lagi dan aku menjawab, "Perutku sakit."
"Mulas?" Martijn meraih kedua bahuku dan berjongkok. Wajahnya terlihat khawatir.
Aku menggeleng. "Bukan. Ini sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfiction"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...