[49]

3.7K 394 50
                                    

Martijn tak henti-hentinya cekikikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Martijn tak henti-hentinya cekikikan. Tangannya bergerak menulisi album foto dengan spidol. Dia berhenti dan tertawa sampai tertunduk saat menulisi kolom di sebelah fotoku dengan tulisan "Siluman Monyet".

Ini gara-gara kekalahanku dalam taruhan acara kuis sialan di televisi. Martijn berhasil menebak jawaban yang benar dan jadilah aku, berdiri di samping pintu apartemen, dengan topeng wajah monyet bertengger di atas kepala, sambil membawa sebuah boneka monyet kecil di bahu. Tak lupa aku harus mengangkat sebuah pisang di tangan bak Patung Liberty dengan obornya. Lalu, seakan itu semua belum cukup menistakan diri, Martijn menjepretku dengan kamera ponselnya, menyuruhku berganti pose setiap beberapa detik, tanpa mengindahkan kalau pacarnya ini ditatap begitu banyak manusia yang berlalu-lalang di pinggir jalan.

"Sudah puas?" sindirku.

Martijn tertawa tertahan. "Kau monyet tercantik yang pernah ada."

Aku memutar bola mata. Ejekan berbau monyet ini sudah berlangsung sejak kemarin.

"Jangan cemberut." Martijn menepuk-nepuk bahuku. "Aku mau kok memeluk monyet asalkan monyetnya secantik kau."

Kutatap ia dengan mata menyipit. "Aku tersanjung," sindirku lagi.

"Ayo sini!" Nada bicaranya yang kekanak-kanakan muncul lagi untuk yang kesekian kalinya. Kedua lengannya terbentang. Senyumnya terkulum. Namun kutolak sikap manisnya itu dengan menepis tangannya.

"Tidak mau! Aku kan monyet, kutu-kutu yang ada di tubuhku nantinya bisa bermigrasi ke tubuhmu!"

"Beberapa hari yang lalu, ada perempuan yang menantiku di pintu apartemen dan langsung memelukku seperti orang yang sudah tidak melihatku selama seratus abad. Dan sekarang ketika dia ingin kupeluk, dia malah menjelaskan soal kutu." Martijn mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Kalau aku memeluk perempuan lain, jangan kesal ya."

"Apa?" Aku mendelik. "Memangnya kau mau memeluk siapa?"

Bola mata Martijn berputar, jahil. "Perempuan mana pun yang mau dipeluk."

"Dasar murahan," semprotku.

"Kita lihat dulu siapa kandidatnya." Martijn mulai menghitung dengan jarinya. "Gretchen Himmerstrand, Gretchen Himmerstrand, Gretchen Himmerstrand ... oh, hampir lupa. Gretchen Himmerstrand lagi, Gretchen Himmerstrand, dan Gretchen Himmerstrand, lalu Gretchen Himmerstrand ...."

Cepat-cepat kupalingkan wajah dari tatapan Martijn. Seharusnya aku selalu ingat, bahwa memang tidak bisa menahan senyum jika berada di dekat lelaki ini.

Setelah gagal menahan senyum, sekarang aku gagal untuk menolak pelukan dari Martijn. Dia merengkuh tubuhku saat aku menyandarkan kepala ke bahunya. Dia mulai menceritakan sesuatu.

"Apa kau masih ingat teman baikku Julian?" tanyanya.

"Tentu. Ada apa?"

"Dia akan pergi meninggalkan Amsterdamme," ujar Martijn, nada bicaranya lemah, "untuk melanjutkan sekolah musiknya."

Boyfriend with Benefits Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang