Bonus Chapter 4

2.6K 246 14
                                    

Ini ceritanya semacam fast forward kehidupan Martijn-Gretchen di masa depan. Enjoy.

+×+×+×

Di suatu malam, saat makan malam di rumah keluarga Himmerstrand....

"Martijn, kira-kira adakah keinginan untuk menikahi Gretchen tebersit di benakmu?"

Pertanyaan Ayah yang kelewat frontal itu sukses membuat Martijn tersedak. Ia meraih segelas air putih di dekatnya, meneguknya sambil memejamkan mata. Kuusap punggungnya, meredakannya dari sedakan dan juga dari ucapan Ayah yang sungguh menohok.

"Ayah," kataku. "Tidak bisakah kita membicarakan hal lain saja?"

Aku heran, percakapan mengenai hubungan asmaraku selalu saja terjadi di meja makan ini. Mungkin lain kali aku harus membuang meja ini agar tak perlu kedua orangtuaku membahas permasalahan hubunganku. Lagi pula, pertanyaan Ayah sungguh tidak pas. Aku dan Martijn jarang sekali bertemu dan dia malah membahas soal pernikahan? Sungguh tidak masuk akal.

"Memangnya kenapa?" Ibu ikut bergabung ke dalam obrolan.

"Aku dan Martijn kan sama-sama sibuk," jawabku. "Jadi kami belum memutuskan untuk menikah."

"Kalau kalian menunggu hingga tidak punya kesibukan, maka kalian baru akan menikah saat berumur tujuhpuluh tahun," ujar Ayah. "Ini adalah saat yang pas. Kalian berdua sudah berusia duapuluh lima, tunggu apa lagi?"

Usai batuknya reda, Martijn menatap ayahku lekat-lekat. "Maafkan aku, Mr. Himmerstrand, tapi menikah bukan soal umur saja," jawab Martijn. "Aku dan Gretchie juga harus memikirkan soal rumah, keturunan, tabungan untuk pendidikan anak kami kelak-"

"Bukankah kalian sudah biasa tinggal bersama? Soal biaya pendidikan anak kalian, kalian berdua kan sudah sama-sama memiliki penghasilan. Dan lagi, kalian berdua sedang berada dalam masa yang bagus untuk memiliki keturunan," sela Ibu. Cara bicaranya mirip seperti dokter kandungan. "Jadi, apa lagi kendalanya?"

Martijn dan aku bertatapan sejenak, saling mentransfer rasa bimbang. Tentu saja aku mau menikah dengan orang ini, tapi dari caranya menatapku... dia seperti tidak yakin, dan akhirnya aku juga merasa tidak yakin bahwa kami bisa membina pernikahan.

"Ayah, Ibu, menikah kan bukan untuk satu atau dua tahun ke depan saja, tapi untuk beberapa dekade," ujarku.

"Lalu?" Ayah menaikkan sebelah alis.

Aku menggaruk kepala, kembali menatap Martijn. Kali ini Martijn mengunyah agak lambat. Tadinya aku berharap dia bisa membantuku menjawab, namun percuma saja.

"Yah, maksudku... aku khawatir dengan kondisi kami sekarang ini malah membuat pernikahan kami tidak akan berlangsung lama," ujarku akhirnya. Kontan ketiga orang lainnya di meja itu memandangku. Tatapan Martijn-lah yang paling menuntut penjelasan.

"Kondisi sekarang? Memangnya apa yang terjadi pada kalian berdua?" tanya Ibu cemas.

Aku menatap Martijn takut-takut. "Aku dan Martijn sibuk sekali dan jarang bertemu," kataku.

"Cuma gara-gara itu?" Martijn menaikkan kedua alis.

Kulayangkan pukulan ke bahu Martijn, membuatnya mengaduh keras. "Apanya yang cuma? Itu penting!"

Boyfriend with Benefits Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang