[47]

4.4K 423 23
                                    

Jam beker seolah tidak mau berkompromi dengan kantuk yang menggelayuti mataku hingga membengkak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam beker seolah tidak mau berkompromi dengan kantuk yang menggelayuti mataku hingga membengkak. Dia, dengan pekiknya yang menusuk-nusuk gendang telinga, tidak peduli sama sekali dengan insomnia yang menyerangku semalam. Aku mencoba meraihnya di nakas, namun tak tahu bagaimana bisa, dia seperti berjarak seratus kilometer jauhnya dariku. Tanpa sadar kata makian melompat dari mulutku, sebelum akhirnya benda itu membisu ketika Martijn menekankan telunjuknya pada sebuah tombol yang mencuat di badan persegi panjangnya.

Aku berupaya kembali memejamkan mata dan melemaskan tubuh. Tangan Martijn mengusap bahuku dari belakang. Deru napasnya meniup telingaku saat ia berbisik, "Bangunlah, Gretchie. Kau punya pekerjaan yang harus dikerjakan."

Sebisa mungkin tak kuindahkan ucapannya. Tak kugerakkan kelopak mataku sedikit pun. Kecemasan semalam kembali menyerang dadaku, membuatku ingin tertidur saja selamanya agar tidak mengingatnya. Kalau ada perang pun, aku tidak ingin terbangun. Apalagi bila hanya ada laki-laki tampan.

Martijn kembali mengulang tindakannya. Namun kali ini, kalimatnya berbeda. "Gretchie, bangunlah. Aku tidak mau kau menjadi Sleeping Beauty, sebab percuma saja bila kau cantik tapi hanya bisa tidur."

Aku menarik selimut menutupi wajah. Dari helaan napas Martijn, tampaknya dia menyerah membangunkanku. Kasur bergerak sedikit, dan tahulah aku bahwa lelaki itu baru saja beranjak turun. Kulanjutkan tidurku dengan perasaan sedikit lega.

Selimut yang menutupi kakiku tiba-tiba tersingkap. Aku baru akan menggerakkan kepala saat sesuatu yang hangat menyentuh pergelangan kakiku. Itu tangan Martijn. Sekuat tenaga kupaksa mataku untuk terbuka, dan di ujung tempat tidur, kulihat Martijn menarik kakiku seakan sedang menarik tali tambang.

Kuraih headboard dengan kedua tanganku. Martijn menarik semakin lebih keras. "Martijn, hentikan! Kakiku mau putus!" teriakku. Dan aku tidak bohong soal itu.

"Ayo bangun!" pekiknya tak mau kalah. Kutarik kedua kakiku sambil tetap berpegangan erat pada headboard. Lalu Martijn mengalahkanku dengan siasat keji: menggelitik telapak kakiku tanpa ampun. Tenagaku hilang karena tawa, sementara tubuhku terus terseret hingga mendekati Martijn.

"Mengapa kau tidak bisa membiarkanku tidur? Lima menit saja. Aku pasti bangun, aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaanku di Rozen en Hart," gerutuku sebal.

Martijn tersenyum simpul. Rambutnya kusut masai seakan habis diterpa tornado, namun benar apa yang dulu pernah ia katakan dengan rasa percaya diri yang kelewatan: dia tampan saat rambutnya acak-acakan. Dia tidak menyahut, malah memonyongkan bibir dan mengecup ujung hidungku.

Aku hanya diam memandangnya. Caranya tersenyum dan memperlakukanku dengan sikap yang manis seolah keheningan aneh semalam sudah lenyap tak bersisa. Aku benar-benar bingung dibuatnya. Tidakkah seharusnya ia menjelaskan sesuatu?

Kusingkirkan selimut dari tubuhku sebelum bangkit dari kasur. Martijn mengikutiku keluar, namun segera berbelok ke kamar mandi. Sementara aku berjalan ke dapur dan mulai membuat sesuatu untuk Martijn.

Boyfriend with Benefits Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang