"Sudah siap?" Mr. Gerard menoleh ke belakang, menengok Martijn, aku, dan Laura yang duduk bersisian di kursi belakang. Mrs. Garritsen duduk di kursi penumpang paling depan, memasang sabuk pengaman.
Saat Laura menjawab kami sudah siap, Mr. Gerard memastikan sabuk pengamannya, kemudian menyalakan mesin. Mobil pun melaju meninggalkan keramaian alun-alun Amsterdamme.
Martijn membuka jendela, kemudian memejamkan matanya sedikit. Rambut cokelatnya menari-nari diterpa angin. Aku menepuk lututnya dan ia melotot ke arahku.
"Mengapa kau memukulku?" tanya Martijn. Ia mengusap lutut sambil memberengut.
"Mengapa kau mengikuti lomba kalau kau hanya ingin kalah?" tanyaku balik.
"Itu kan urusanku," jawabnya cuek. Aku menepuk lututnya sekali lagi dan ia mengaduh kesakitan.
"Padahal aku sudah mendukungmu," kataku. "Sia-sia saja energi yang kukeluarkan untuk menyorakimu."
"Jadi, kau ingin bilang kalau aku harus mengembalikan energimu yang terbuang?"
Tawa kecil terdengar muncul dari depan. Rupanya Mr. dan Mrs. Garritsen melirik kami melalui kaca spion dalam. Laura juga terkikik, hanya saja ia melemparkan pandangan ke luar jendela.
"Bukan begitu maksudku. Kalau kau tidak ingin ikut, seharusnya kau tidak perlu membuatku malu, apalagi sampai menggunakan siasat sayang yang—"
Sebelum aku menuntaskan ucapanku, Martijn langsung merangkul leherku. Wajahku terjepit di ketiaknya. Ia mengacak-acak rambutku dan berkata, "Diamlah, jangan bicara yang aneh-aneh."
Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Untungnya aku berhasil terlepas dari jepitan ketiak mautnya. "Mengapa kau malah memberiku ketiak?"
Martijn menempelkan telunjuknya di bibir. "Kau ribut sekali. Ayahku harus berkonsentrasi."
Aku menatap Martijn sebal. Ia balas menatapku, wajahnya datar. Tetapi ia tak bisa mempertahankan ekspresi datarnya lebih dari sepuluh detik. Ia mengulum senyum, hampir tertawa, lalu dilemparkannya kembali pandangannya ke luar jendela.
Aku benar-benar heran. Martijn cepat sekali mengalami perubahan suasana hati.
Kuputuskan untuk bersandar dan mengamati jalanan di depan. Tampaknya kami akan meninggalkan kota. Kedua orangtua Martijn bercakap-cakap, dan yang mengagetkan adalah, mereka membicarakan aku dan Martijn.
"Bukankah Martijn dan Gretchen amat manis?" ujar Mr. Gerard. Pipiku tiba-tiba memanas.
"Oh, paling manis yang pernah kulihat. Martijn tak pernah terlihat segembira itu," sahut Mrs. Garritsen.
"Aku tidak gembira," sahut Martijn cepat. Padahal ia terlihat benar menyembunyikan senyum.
"Mana ada maling yang mau mengaku," celetuk Laura. Martijn langsung menusuk hidung adiknya dengan telunjuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfic"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...