Selagi bertumpu pada kruk, kuamati bangunan toko keju Gerard's yang menjulang di depanku.
Toko itu telah berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi suasana sesunyi pekuburan; pelanggan dari berbagai macam daerah berdatangan silih berganti, hingga toko keju di seberang yang dulunya jauh lebih maju harus gulung tikar karena tak mampu menyaingi kualitas produk Mr. Garritsen. Ornamen-ornamen keju yang menghiasi plang nama toko terlihat lebih hidup dan eye-catchy. Bangunannya pun sudah ditingkat hingga lantai dua, tempat bagi para pelanggan yang ingin memilih sendiri keju yang telah disimpan untuk beberapa waktu.
Bel yang bergemerincing saat pintu terbuka masih sama bunyinya. Kotak-kotak kaca berbaris membentuk huruf U, ramai oleh beragam produk olahan keju. Anak-anak kecil yang sedang ikut berbelanja bersama ibu mereka menempelkan tangan-tangan mereka pada permukaan kaca, membuat salah seorang pegawai harus kerepotan mengelap liur yang menempel. Mr. Garritsen juga kini memiliki banyak pegawai; mereka bersikap ramah dan terlihat tak pernah lelah mondar-mandir melayani pelanggan. Tidak seperti dulu, saat pekerja yang ada di toko ini hanyalah ia dan Martijn.
Segerombolan gadis remaja berpakaian pendek ala musim panas tampak begitu bahagia meski harus mengantre panjang untuk membayar. Tentu saja begitu, kalau kasirnya adalah Martijn. Dengan telaten, Martijn menghitung belanjaan para pembeli dengan bantuan mesin kasir, lalu dengan baik hati memberi tanda tangan atau berfoto bersama pelanggan yang kebetulan adalah penggemarnya.
Salah seorang wanita lansia yang sedang ikut mengantre terlihat sedang menelepon cucunya dengan bantuan pengeras suara. Wajahnya semringah, nada bicaranya penuh semangat. Tanpa sengaja kudengarkan percakapan mereka. "Ayo cepat kemari! Idolamu si ... siapa ya namanya? Ah! DJ Matrix! Nenek melihatnya di Alun-Alun!"
'Maksud Nenek DJ Martin Garrix?'
"Nah, iya itu!" pekik si nenek. "Dia ada di toko keju Gerard's! Kau harus cepat datang, dia ternyata jauh lebih tampan saat dilihat langsung ketimbang lewat majalahmu!"
Aku berusaha menahan tawa dan berjalan ke balik kotak kaca. Mr. Garritsen menyambutku, bahkan dengan begitu baik hatinya menyodorkan sebuah kursi untukku di sebelah Martijn yang sedang berdiri menghadapi pelanggan. Kulihat seorang pria bertubuh sintal dengan jenggot lebat terheran-heran memandang Martijn.
"Semuanya limabelas euro," kata Martijn pada pria itu. Si pria menyodorkan uangnya dan mendekatkan wajah.
"Omong-omong, siapa kau? Mengapa banyak sekali orang ingin berfoto denganmu?"
Martijn menggigit bibir, berusaha keras agar tidak tertawa. Dengan kedua pipi kemerahan, dia menjawab dengan manis, "Oh, aku hanyalah seorang pegawai toko keju ini, Sir."
"Tapi mengapa kau tidak mengenakan pakaian seperti pegawai yang lain?"
Martijn menunjuk T-shirt hitamnya. "Aku mudah kepanasan saat musim panas, dan atasanku memberiku pengecualian. Kan tidak enak jika aku harus melayani pelanggan dengan baju yang basah karena keringat," kata Martijn seraya memberikan kembalian. "Terima kasih, Sir. Datang lagi nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfiction"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...