"Wakey, wakey, my Cutie Lil' Pizza."
Martijn bersembunyi di balik buntalan selimut putih, menggeram seperti kucing saat aku duduk melompat-lompat di pinggir kasur. Dia bergerak sedikit dan menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Sedikit lagi masuk ... aku harus berusaha lebih ... keras ...."
Aku terdiam sejenak. Dia sedang mimpi apa?
Kutarik selimut di hadapanku, mencoba menyingkap kepala Martijn. Kelopak matanya tertutup, sedangkan keningnya mengernyit tajam seperti orang yang sedang kesulitan buang air. Pelan-pelan kutiup telinganya sambil berkata, "Wakey, wakey, Marty. Sarapan ada di sini."
Bak orang yang baru saja mendengar letusan gunung berapi, Martijn melempar selimutnya dan duduk dengan tegak. Matanya membulat ketika menatapku. "Sarapan?"
Works every time.
Aku menarik kereta pengangkut makanan yang terletak tak jauh dari kasur, kemudian mengambil segelas air putih dari sana. "Nih, minumlah."
Martijn menyambut gelas dan meneguk isinya dengan bersemangat. Matanya terus bergerak mengikuti tanganku saat meletakkan meja lipat dan makanan di pangkuannya. Kubuka tutup hidangan, menampilkan dua buah hamburger yang ukurannya keterlaluan besarnya. Martijn tampak keheranan.
"Sarapan pagi dengan hamburger?" tanyanya.
"Memangnya kenapa?"
"Aku belum pernah makan hamburger saat sarapan," katanya. "Apalagi di tempat tidur seperti ini. Apakah ini surga?" Tiba-tiba saja Martijn menatap ke sekeliling dengan tatapan mata dramatis. Aku tertawa terbahak-bahak dibuatnya.
"Semalam aku meminta pelayan membuatkan hamburger khusus untukmu. Tadinya sih aku ingin piza, tapi kurasa mereka tidak punya cukup waktu untuk membuatnya," kataku. "Makanlah. Setelah itu kita harus bersiap-siap untuk acara pernikahan Ilse."
Sambil bersenandung dan menggoyangkan kepalanya dengan riang, Martijn mengambil salah satu hamburger, kemudian menjepitnya kuat-kuat. Dibukanya mulutnya lebar-lebar saat menggigit roti isi itu. Kedua pipinya menggembung saat mengunyah, sedangkan kedua matanya terpejam. Dia mengangguk-angguk dan berkali-kali berbunyi, "Hmm ... hmm ...."
"Enak?"
Martijn menelan makanan di dalam mulutnya dan mengangguk riang. Matanya kini terbuka, tampak berkilauan. "Rasanya seperti menelan nirwana," jawabnya.
"Baiklah, nikmati saja sarapanmu. Aku ingin mandi sekarang," ujarku. Begitu aku akan bangkit, Martijn menarik lenganku, menggagalkanku berdiri.
"Kau tidak makan?"
Aku menggeleng. "Aku bisa gemuk jika memakan makanan seperti itu pagi-pa—"
Martijn memutar bola mata. "Tubuhmu sudah terlalu kurus seperti batang sapu, jadi memakan hamburger di pagi hari tidak akan membuatmu gembrot."
"Kau pernah bilang kalau pantatku seperti labu." Aku menyipitkan mata. "Bukankah itu artinya aku gemuk?"
"Kau pernah lihat labu tidak sih?" ujar Martijn. "Labu kan montok."
"Ucapanmu itu sangat tidak masuk akal," kataku, "dan kekanak-kanakan. Sudahlah, sekarang biarkan aku pergi."
Martijn terkekeh-kekeh saat aku berjalan menuju kamar mandi. Tepat ketika aku akan menutup pintu, dia bernyanyi-nyanyi, "Si labu ... si labu ...."
Sejujurnya, bukannya aku takut gembrot, tapi sebenarnya aku sudah menghabiskan satu hamburger sebelum Martijn bangun.
+×+×+×
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfiction"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...