Pelan-pelan kuangkat kepala Martijn dari pangkuanku dan menyangganya dengan bantal. Kedua matanya tetap terpejam, di sekitarnya tampak memerah karena bengkak. Kupaksa tubuhku untuk bangkit dan berjalan perlahan menuju kamar mandi.
Hari sudah pagi dan aku belum tertidur sama sekali sejak pukul tiga. Bahuku terasa amat berat seakan beban seratus ton ditumpukan ke sana. Kepalaku terasa amat pening. Kubatalkan niatku semalam untuk cuti hari ini karena aku tidak ingin berada di rumah dalam keadaan seperti ini.
Usai mandi, aku mengenakan pakaian dan langsung berniat pergi tanpa berdandan apalagi makan pagi. Sebelum meninggalkan apartemen, aku mengecek kamar tidur, memastikan Martijn masih terlelap. Lelaki itu berbaring di lantai di sisi kasur, terlihat tidak bergerak kecuali dadanya yang kembang-kempis perlahan namun teratur. Kutinggalkan sebuah catatan kecil untuknya di pintu kamar dan langsung berangkat.
+×+×+×
Mr. Gerard sedang memeriksa catatan miliknya saat aku tiba di toko kejunya. Toko itu belum buka. Para pegawai tampak sibuk berlalu-lalang di sekitarnya, namun terlihat jelas dari ekspresinya, Mr. Gerard amat menantikan putranya sendiri yang akan membantunya seperti biasa.
"Selamat pagi, Mr. Gerard," sapaku.
Pria itu memberiku senyuman ramah. "Pagi, Gretchen. Di mana Martijn?"
"Ummm ...." Aku mengusap mataku yang terasa agak gatal—barangkali efek semalam. "Martijn sedang sakit, Sir. Dia tidak bisa datang bekerja hari ini."
"Sakit?" Ekspresi pria itu berubah kaget. "Sakit apa?"
"Cuma demam. Tapi dia baik-baik saja. Aku sudah membawanya ke klinik dan dia butuh istirahat."
Pria itu mengangguk. Wajahnya memancarkan kelegaan. Ya Tuhan, ampuni aku karena telah membohongi pria baik ini.
"Dasar. Itu karena dia selalu bekerja terlalu keras," kata Mr. Gerard. "Untung saja ada kau. Terima kasih ya, Gretchen."
Aku mengangguk dan memaksakan senyum. "Bukan apa-apa, Sir," sahutku. "Omong-omong, aku harus pergi bekerja. Sampai nanti, Mr. Gerard."
"Sampai nanti."
Buru-buru aku berbalik dan meninggalkan toko itu, sebelum Mr. Gerard tahu bahwa aku telah membohonginya.
Setibanya aku di Rozen en Hart, Chong adalah manusia pertama yang menyadari bahwa aku tidak menggunakan make up hari ini. Dia tampak heran.
"Gretz, kau tampak ... pucat," katanya sambil mengelap gelas.
Keempat pria di kafe itu—Cristoffer, Eston, Max, dan Rajeev—memandangiku berbarengan. Aku menghela napas dan menghadapkan wajah ke dinding.
"Aku hanya sedang tidak ingin berdandan," sahutku dengan candaan. "Kau tidak tahu ya kalau sekarang sedang ada tren wajah natural tanpa make up?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfiction"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...