Keesokan paginya, kuutarakan ihwal pemecatan Nanny Gaga sebagai pengasuhku saat sedang sarapan bersama orangtuaku. Entah mengapa Ibu dan Ayah langsung terbatuk sebegitu hebohnya seakan sedang tersedak paku.
"Mengapa kalian berdua bertingkah seheboh ini?" tanyaku keheranan.
"Apa kau serius dengan keinginanmu itu?" tanya Ibu tak percaya.
Aku menghela napas panjang. "Nanny sangat baik, aku tahu. Tapi ... aku sudah besar. Aku seharusnya bisa hidup mandiri. Dan sejak beberapa hari yang lalu aku menginginkan kebebasan," kataku. Walaupun sebenarnya keputusanku ini adalah buah dari ucapan Martijn yang terus menghantui kepalaku. "Kuharap kalian menghargai keputusanku. Bukankah ini adalah bentuk dari kebebasan?"
Ibu menatapku haru, seolah ia sedang mendengarkan kabar kemenanganku atas lomba menghias kambing dengan menggunakan pakaian dalam yang ia produksi. Sedangkan Ayah masih berusaha mencerna ucapanku—dan makanannya.
"Bagaimana menurutmu, Cal?" tanya Ibu pada Ayah kemudian. Dengan lembut ia menyentuh punggung tangan Ayah.
Ayah melirik Ibu ragu. "Entahlah, Gertrude. Dia sudah merawat Gretchen sejak kecil dan kurasa dia sudah menjadi bagian dari keluarga," kata Ayah.
Tiba-tiba saja aku mendapat ide.
"Kalau begitu, tetaplah pekerjakan Nanny Gaga," kataku. "Maksudku, bukan sebagai pengasuh. Mungkin dia bisa jadi asisten Ibu atau membantu Ayah mengurus properti?"
Ayah dan Ibu bertatapan lagi. "Kurasa benar juga kata Gretchen, Calgary. Banyak sekali hal di perusahaanku dan kurasa aku butuh seseorang untuk membantuku menangani itu," ujar Ibu. Aku hampir saja bersorak gembira karena ideku berhasil.
Ayah pun akhirnya setuju atas perihal pemindahjabatan Nanny Gaga dari pengasuhku menjadi asisten Ibu. Ibu sendiri yang nanti akan mengabarkan berita ini pada Nanny saat ia datang pukul sembilan nanti.
Kami melanjutkan sarapan dan mengganti obrolan. "Gretchen, bagaimana kabarmu dengan Martijn?" tanya Ayah.
"Aku dan dia baik-baik saja," jawabku. "Semalam kami makan malam di sebuah restoran ramen."
"Ramen?" Alis Ibu terangkat sebelah.
"Ya, mi dari Japan," jawabku santai.
"Ya, Sayang. Ibu tahu kalau ramen adalah mi dari Japan," sahut Ibu, matanya menyipit ke arahku.
"Ow." Aku menatap makananku.
"Maksud Ibu, mengapa kau mau? Tidak biasanya kau makan di restoran semacam itu," lanjutnya.
Jangankan Ibu, aku sendiri juga bahkan tidak tahu alasannya.
Aku mengangkat bahu. "Martijn bilang makanannya enak dan begitulah. Tapi memang betul apa yang ia bilang," ujarku. "Sama sekali tidak buruk. Sampai saat ini aku tidak mengalami diare."
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfic"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...