"Martijn, sepertinya aku harus ke toilet dulu," ujarku usai kami menyelesaikan acara santap siang di Taste of Indonesië. Martijn memandangku, ingin tertawa.
"Kenapa? Apa karena terlalu banyak makan?"
"Bukan," jawabku. "Ada yang harus kulakukan. Lima menit saja."
"Baiklah, kutunggu di sini. Cepatlah kembali, aku ingin segera pulang dan tidur," katanya. Dasar gila, setelah makan begitu banyaknya sekarang malah ingin tidur.
Untungnya letak toilet tidaklah sejauh yang kubayangkan. Ada lima kubikal di dalamnya, empat di antaranya tidak diisi siapa-siapa. Sebenarnya aku kemari bukan untuk buang air, melainkan untuk merapikan dandanan. Aku memandang cermin, menyadari betapa berantakannya wajahku karena terlalu banyak makan.
Kutepuk kulit wajahku dengan puff bedak. Setelah itu kuolesi bibirku dengan gincu secara hati-hati. Pintu kubikal nomor lima terbuka dan hampir saja kujatuhkan gincuku ke wastafel saat kulihat Lynn melalui cermin.
Dia berdiri di sebelahku, membasuh tangannya. Dengan ramah ia berkata, "Hei, kau lagi."
"Wow," kataku. "Tidakkah mal ini sempit sekali?"
Dia terkekeh dengan manis. "Yah, memang sempit sekali," katanya. Ia lalu membenarkan dandanannya pula.
"Hei, mungkin ini agak aneh untuk ditanyakan, apalagi mengingat posisi kita yang berada di toilet," ujarku. "Tapi apakah Martijn bertingkah menyebalkan saat kalian berkencan?"
"Oh, jadi dia bilang padamu kalau aku mantan pacarnya?"
Aku mengangguk.
"Well, kuharap kau tidak marah."
"Tidak," kataku. "Lagi pula dia mengatakannya sudah lama."
Lynn berdehem sambil membuka tutup gincunya. "Dia tidak menyebalkan," jawabnya. "Tapi dia ... kekanak-kanakan, idiot ... well, aku minta maaf telah menghina pacarmu, ya."
"Syukurlah!" Aku mengelus dada. "Kupikir hanya aku satu-satunya makhluk di dunia ini yang harus sengsara karena tingkahnya itu!"
Kami berdua tertawa.
"Jadi dia juga bertingkah seperti itu padamu?" tanya Lynn dengan senyum. Ia memoleskan gincu ke bibirnya.
"Hampir setiap waktu! Hingga rasanya ingin sekali kulipat-lipat tubuhnya itu hingga menjadi rubik," kataku. Lynn tertawa lagi.
"Kalau begitu kau harus gembira," katanya.
"Gembira?" tanyaku heran.
Lynn mengangguk. "Dia akan bertingkah seperti itu hanya pada orang-orang yang disayanginya. Kau sudah bertemu dengan ayah dan ibunya? Kalau sudah, kau pasti akan mendapati bahwa Martijn, meskipun sudah berusia setua itu, tetap bertingkah seperti bocah kecil di hadapan mereka. Itu karena ia menyayangi keduanya. Dan terhadap adiknya, dia juga bertingkah kekanak-kanakan dengan mengusilinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend with Benefits
Fanfiction"Oh, so you're a bad boy? Don't worry, I love bad boy." --- Gretchen Himmerstrand tak pernah--dan tak bisa--punya pacar. Menurutnya, amat sulit menemukan seorang lelaki yang pas untuk seorang gadis kaya seperti ia. Urusan cinta pun menjadi urutan pa...