[35]

4.6K 436 61
                                    

Kami semua baru kembali ke kamar masing-masing pukul dua belas malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami semua baru kembali ke kamar masing-masing pukul dua belas malam. Meski kelelahan, aku dan Martijn tidak bisa berhenti tertawa. Aku menjatuhkan diri di kasur sementara Martijn berdiri di depan lemari yang terbuka, melepas T-shirt putihnya.

"Sudah kubilang, Ilse akan menyukai hadiah itu, bukan?" ujar Martijn.

Well, ia benar. Usai permainan berakhir, Ilse bahkan memelukku dan berterima kasih padaku dengan mengatakan, "Ini hadiah terunik yang pernah kudapat! Aku senang sekali kau memilih hadiah semacam ini! Berkat hadiah darimu, keluarga kita menjadi semakin lebih akrab!"

Aku tak bisa melupakan senyum Ilse sepanjang malam itu.

"Terima kasih, Martijn. Kau benar, kau memang bisa diandalkan soal memilih hadiah."

Martijn menutup lemari usai mengganti pakaiannya dengan T-shirt berwarna hitam dan celana pendek. Aku baru mengganti pakaianku sendiri saat Martijn memasuki kamar mandi, menyikat gigi. Setelah itu aku ikut berbaur bersamanya dan mulai menyikat di sebelahnya.

"Omong-omong, mengapa ayah dan ibumu menanyakan hal semacam itu, ya?" tanya Martijn ketika kami selesai.

Aku mengusap bibir dengan tisu. "Soal apa?"

Martijn mengangkat bahu. "Kau tahu ... soal itu. Kau masih ingat percakapan kita tadi sore, bukan?"

Mengingatnya membuat pipiku kembali memanas. "Entahlah," jawabku sambil merangkak di kasur dan membaringkan tubuh di atasnya. "Mungkin mereka hanya penasaran dengan apa saja yang kita lakukan."

Martijn mematikan lampu dan berbaring di sebelahku, menatap langit-langit tanpa menampilkan ekspresi apa-apa. Aku memandangnya, dan ketika ia menoleh, entah kenapa suasana terasa canggung. Padahal kami selalu tidur bersebelahan setiap hari, namun belum pernah kami mengalami perasaan seperti ini. Ini gara-gara percakapan Ayah dan Ibu yang memalukan.

Kuletakkan sebuah bantal di antara tubuhku dan Martijn, membatasi area kami masing-masing. Martijn menarik selimut dan kembali memandangi langit-langit, sementara aku menutupi tubuhku dengan selimut dan mulai mencoba tidur.

Tetapi aku tak bisa tertidur meski telah memejamkan mata rapat-rapat. Sudah berkali-kali aku mengubah posisi tidurku namun cara itu tetap tak berhasil membuatku terlelap. Kuintip jam di nakas yang kini menampilkan angka 01:03. Aku menyingkap selimut dan duduk bersandar pada headboard. Suara pendingin ruangan mendengung pelan, hampir tidak terdengar.

Martijn sendiri rupanya juga belum tertidur. Dia sedang berbaring memunggungiku sambil memencet-mencet layar ponselnya. Hebatnya dia langsung menyadariku yang tak bisa tertidur.

"Kepanasan?" tanyanya sambil berbalik. Aku menggeleng.

"Entah mengapa aku tidak mengantuk," kataku. "Kau sendiri mengapa belum tidur?"

"Aku sedang bermain gim," jawabnya. Ia lalu mematikan ponsel dan menyimpannya di laci nakas. Kemudian ia turut duduk bersandar pada headboard.

"Apa yang biasanya kaulakukan jika kau tidak bisa tidur?" tanyaku.

Boyfriend with Benefits Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang