21. Bunglon.
Keesokan harinya, jam setengah tujuh kurang sedikit -Stevan sudah tau kalau Lala datangnya selalu telat- anak yang baru bersekolah selama empat hari itu sudah nongkrong santai di atas motor hitamnya setelah tadi menjemput seseorang dan tidak bisa membawa gadis itu bersamanya.
Di keluarkan ponsel dari saku celana. "Dapet gak?"
"Dapet lah. Tapi ya alakadarnya. Lo nyuruhnya mepet sih."
"Sesuai sama kriteria yang cewek takutin kan?"
"Iya."
"Bagus."
"Gapapa nih, Stev?"
"Gapapa. Paling dia pingsan doang."
"Nah emang itu yang gue takutin. Gak usah di koridor utama deh. Mending di depan kelasnya aja. Kayak waktu dia minta penjelasan kenapa lo bantuin sekolah sebelah."
"Ngga seru. Lagi lo kenapa dah?"
"Gue ngeri aja dia kenapa-kenapa. Lo nggak tau kan, kalo tameng Kak Lala itu bahaya-bahaya?"
"Gue yang tanggung jawab."
"Serah apa kata lo. Gue gak ikut-ikutan."
"Ya emang harus gitu. Buruan. Ntar tu cewek keburu nongol duluan."
"Iya. Ini juga udah otw." Sepuluh menit setelah Zidan -teman baru Stevan yang memberi tahu segala sesuatu yang menyangkut Lala dan membantu rencana Stevan- sampai sekolah, Lala memasuki gerbang. Baik Zidan maupun Stevan, keduanya langsung bergerak.
"Gue duluan." Zidan melangkah cepat menuju koridor utama.
"Oke." Stevan mengacungkan kanannya. Bibir laki-laki itu mengembangkan senyuman lebar. Melihat itu, Zidan menggeleng-geleng kepalanya.
Lala berjalan menuju gerbang dengan tekad sekuat baja. Dia juga ingat, kalau hari ini, dia akan mendengar pengakuan dari bibir laki-laki itu. Walaupun perempuan berkuncir kuda itu benci mengakui kalau dia sebenarnya ketar-ketir juga, membayangkan apa yang nanti di lakukan oleh Stevan.
Stevan tersenyum tipis. Dengan kedua tangan berada di saku celana, dia melangkah perlahan meninggalkan area parkiran motor.
Sementara itu, Lala berjalan menuju koridor utama tanpa kewaspadaan di sekelilingnya. Benaknya disesaki seribu strategi untuk berhadapan dengan Stevan.
"Kalau gue samperin lagi ke kelasnya, pasti malu banget lah. Masa cewek terus yang nyamperin cowok." Gumam Lala sambil menapaki lantai koridor utama.
"Dia kemarin kayaknya bawa motor deh." Tiba-tiba mata Lala berbinar senang. "Ah iya! Gue tungguin aja di depan gerbang. Awas aja kalo gak nga-- HUANJIIING!" Visual strategi yang tengah dipikirkannya itu lenyap tergantikan pemandangan menggelikan. Jarak teramat dekat dan menggeliat itu membuat Lala membulatkan matanya.
Lala terperangah. Langkahnya seketika terhenti dan dia membeku di tempat, dengan mulut ternganga, mata terbelak dan wajah pucat pasi. Kurang dari tiga sentimeter, terlalu dekat dengan wajahnya. Seketika tubuhnya lemas.
Stevan yang langsung membayangi dalam jarak yang hanya satu meter di belakang Lala begitu perempuan itu memasuki koridor utama tadi, segera menangkap tubuh lemas Lala dengan kedua tangan. Diikutinya gerak tubuh yang kemudian meluruh jatuh.
Dengan menyangga tubuh Lala, Steven melemahkan gaya gravitasi yang mencengkeram Lala dalam tarikannya. Hingga keras lantai koridor yang menyambut tidak sampai melukai perempuan itu. Hati-hati, Stevan mendudukan Lala di lantai, kemudian berlutut di sisi gadis yang memakai sepatu converse hitam.
Zidan ikut berlutut tidak jauh dari keduanya. Kelima jari tangan kirinya mengurung sesuatu, hingga tak ada satupun orang yang melihat penyebab utama Lala kehilangan kekuatan tubuhnya.
"Parah bercandanya." Tegur Stevan.
"Hehe.." Zidan meringis tertawa. "Maling teriak maling."
"Anak orang tuh, bukan setan. Mau ngasih penjelasan apa lo ke orang tuanya?" Kali ini Didin -teman Stevan setelah Zidan- berdiri di antara kedua temannya. Dia melepas jaketnya, lalu diletakan di bagian rok Lala. Steven meringis melihatnya. Laki-laki itu baru sadar kalau rok Lala ambyar ke atas.
Lintang lari terbirit-birit keluar kelas dan turun begitu Hana memberitahu keadaan Lala via telepon. Satu yang Lintang tahu, itu bukan perilaku manis, tapi bentuk penganiayaan seperti coklat pahit kemarin. Namun, Lintang tidak tahu kalau penganiayaan berikutnya akan jadi seperti ini.
Lintang memandang bengis Stevan. Sebelum Lintang mengeluarkan kata-kata pedasnnya, Bu Desi sudah datang, membelah kerumunan yang masih bertahan selama lima menit dari kejadian.
"Ada apa ini?"
"Kak Sheila sakit, Bu." Jawab Stevan dalam atmosfer malaikat. Bukan hanya suara, tapi juga ekspresi wajah dan gerak tubuh.
"Begitu?" Tanya Bu Desi lagi, jelas masih kentara bahwa dia tidak percaya. Apalagi kalau yang pingsan adalah Lala, lalu Cherubim dan Seraphim pendamping Stevan model Zidan dan Didin.
"Sini! Biar gue yang bawa Lala ke UKS." Lintang tidak memperdulikan sepasang mata Stevan yang sudah memandangnya tajam. "Paling-paling dia cuma kecapekan. Soalnya minggu ini kelas kita emang banyak banget tugas. Temen sekelas juga banyak yang nggak enak badan kok."
Lintang menarik badan Lala dari pelukan Stevan. Tapi badan Lala yang berat membuat Lintang merutuki kebodohannya. Badan lo berat banget, Bangsat!
"Biar cowok itu aja yang bawa ke UKS!" Perintah Bu Desi saat melihat tidak ada pergerakan apapun ketika Lintang ingin membopong Lala. Perempuan itu berdecak pelan, tangannya terulur untuk memberikan Lala lagi pada Stevan.
Stevan menerimanya dengan senang hati. Dia menggendong Lala menuju UKS diikuti Lintang, Zidan dan Didin. Sementara Bu Desi membubarkan penonton, menyuruh mereka masuk ke kelas masing-masing karena bel telah berbunyi.
Ketika sudah di dalam UKS, Lala langsung melompat dari gendongan Steven lalu mendorong Steven sampai menubruk dinding dan mengunci pergerakan laki-laki itu menggunakan kedua tangannya. Lintang yang menyadari sesuatu hal yang akan terjadi menutup pintu rapat, tidak boleh ada siswa/i melihat, terlebih lagi guru.
Zidan dan Didin maju satu langkah, berniat menolong Steven. Tapi sepertinya urusannya sekarang bukan dengan laki-laki itu. Namun dengan kakak kelas mereka, Lintang.
Stevan gelagapan sendiri melihat wajah Lala lebih dekat daripada yang kemarin. Hidung mereka bergesekan apabila ada yang menimbulkan gerakan. "Eh.. Kak... Gue nggak ada... mak--"
Lala mengambil binatang yang masih berada di tangan Zidan. "Lo pikir, gue takut sama bunglon? Iya?! Lo pikir lo bisa ngelakuin apa yang lo mau seenaknya?! Lo pikir lo siapa di sini?! Raja?!! Gue, Sheila Navaro, gak bakal takut sama cowok banci kayak lo doang!!"
Plak!
**
Scane Adeonya kapan-kapan aja ya. Abis dia ngebosenin sih :v
KAMU SEDANG MEMBACA
12 IPA 1
Teen Fiction"Nama gue Sadeo Kenzo." "Nama gue Sheila Navaro." "Nama gue Lintang Shamira." "Nama gue Anjaly Stefhanie." "Dan nama gue Rania Adriani." "Kami bersama-sama, melunakkan ego dan hati."