18. Upacara

1.3K 94 0
                                    

18. Upacara.

"Lo anak baru dan telat di hari Senin? Mati ae lo."

Lala tertawa kecil melihat laki-laki di hadapannya sekarang. Dia hari ini telat, begitu juga dengan laki-laki itu. Dan sekarang, tujuannya adalah gerbang belakang. Biasanya gerbang itu belum ditutup. Tapi entah jika hari Senin, Lala belum pernah mengalami keterlambatan di hari Senin.

"Mau ikut gak?" Tanya Lala. Dia kasihan juga apabila anak baru itu telat dan mendapat hukuman dihari pertamanya.

"Kemana?"

Lala tidak menjawab pertanyaan laki-laki tersebut. Perempuan berjam tangan biru navy itu membalikan tubuhnya dan melangkah pergi yang langsung diikuti oleh laki-laki itu karena dia juga tidak tau ingin pergi kemana lagi.

"Nama gue Stevan." Ucap laki-laki yang diketahui bernama Stevan. Dia tidak menggerakan tangan atau wajahnya seperti sebagaimana cara orang berkenalan. Hanya bibir dan kakinya saja yang tetap bergerak.

Lala mengerutkan dahinya sebelum tertawa kecil. "Sheila. Btw, nama lo mirip kayak nama kakak gue."

Jam tujuh lewat sepuluh menit. Itu artinya, upacara sudah dimulai sepuluh menit yang lalu. Tapi masih ada waktu kira-kira lima menit sebelum Pak Uum -guru yang suka patrol ke barisan belakang- sampai di kelas yang akan dituju oleh Lala.

Sebenarnya Lala bisa saja menyelinap ke barisan kelasnya sendiri, meskipun anak kelas dua belas berbaris tepat di depan barisan para guru. Karena, datang terlambat sudah sering dilakukannya baik disengaja ataupun tidak. Tapi balik lagi ke satu permasalahan, dia sekarang bersama Stevan yang notabene-nya adalah anak baru.

Menjelang mendekati pagar belakang sekolah, Lala berjalan dengan punggung sedikit membungkuk dan berusaha tidak menimbulkan suara. Dengan cermat, dipandanginya jeruji besi pagar yang sudah dikunci dan tanpa pikir panjang langsung saja dipanjat.

Aksinya itu membuat Stevan yang masih di bawah tercengang.

"Liat apa?!" Tanya Lala galak. "Ayo, cepet naik! Dan jangan bilang kalau lo gak bisa manjat pager!"

Stevan tersentak dan buru-buru ikut memanjat pagar. Dengan susah, Lala menahan senyumnya agar tidak mengembang.

Perempuan itu melempar tasnya asal ke dalam kelas 12 IPA 1, begitu juga Stevan. Kemudian Lala menggiring Stevan untuk menyelinap ke tengah barisan, berusaha mencapai barisan depan tanpa kentara.

Kebijakannya, laki-laki harus berbaris di depan. Perempuan di belakang. Alasannya, laki-laki tukang bikin ribut. Alasan yang kontan membuat semua laki-laki protes keras. Perempuan juga samanya, malah lebih parah dari laki-laki.

"Mundur dong!" Bisik Lala pada adik kelas perempuan terdepan.

Vania, perempuan berambut panjang dan jepitan rambut sana sini membuat dia layaknya tukang jepitan berjalan itu, menoleh kaget dan mundur dua langkah. Perempuan-perempuan di belakangnya mundur tanpa disuruh. Lala dan Stevan segera mengisi tempat kosong itu.

"Thanks." Sesaat Stevan menoleh ke belakang dan tersenyum. Lalu di balas oleh Lala sedikit ragu.

Sepertinya hari ini matahari sedang bersemangat melaksanakan tugasnya. Upacara baru berjalan dua puluh menit, tapi setiap siswa yang berbaris di lapangan merasa seperti sedang berdiri persis di depan kompor.

Stevan menoleh lagi ke belakang. Di lihatnya Lala sedang menunduk dalam-dalam, menghindari sengatan matahari sebisanya. Wajahnya sudah merah, sementara keringat mengalir deras di kedua pelipisnya. Stevan mundur selangkah. Dihalanginya sinar matahari itu dengan tubuhnya. Sekali lagi dia menoleh ke belakang, meyakinkan diri kalau perempuan di belakangnya telah terlindungi sepenuhnya.

Lala hanya tersenyum tipis sebagai ucapan terimakasih.

Jam delapan kurang sedikit, upacara selesai. Untuk perempuan yang selama hampir satu jam ini telah dilindunginya dari panas matahari. Stevan menatapnya kemudian pergi ingin mengambil tas lalu ke ruang kepala sekolah.

***

Lala memperhatikan salah satu contoh soal di kertas ulangan yang bertengger di hadapannya dengan serius. Namun, keseriusan itu hanya bertahan beberapa detik. Detik berikutnya, pikiran perempuan yang lahir pada bulan November itu kembali melayang pada peristiwa tadi pagi.

"Ck." Lala mengetuk-ngetukan menggunakan pulpen. Dia menggeleng keras-keras lalu mencoba kembali memusatkan perhatian pada delapan soal yang belum terjawab, tapi tetap tidak bisa. Perempuan itu jadi kesal sendiri.

Sekali laki, otaknya kembali dipaksa berkonsentrasi pada selembar kertas di depannya. Awalnya berhasil. Hampir lima menit Lala sanggup memusatkan perhatiannya pada deretan angka serta kertas buram yang dipakai untuk menghitung.

Sampai tanpa disadari, satu pikiran menyelinap perlahan dan tercetus keluar dalam bentuk bisikan; tuh cowok cakep juga.

Lintang menyikut tangan Lala. Dia menunjukan ponselnya di bawah kolong meja, memberi kode agar Lala membuka handphone-nya.

Anjaly Stefhanie: soalnya susah banget anjir

Anjaly Stefhanie: dari sepuluh soal, gue cuma bisa jawab 4

Lintang Shamira: jawaban nomer 1-10 apaan sih

Sheila Navaro: lah gue apa kabar ini anjing? Gue baru 2 soal

Sheila Navaro: kirimin jawaban apa

Yustitania: 1. b

Yustitania: 2. a

Yustitania: 5. c

Yustitania: 7. a

Yustitania: 8. c

Yustitania: 9. d

Yustitania: 10. d

Yustitania: nomer 3, 4, 6 apaan si

Sheila Navaro: 3. d

Sheila Navaro: 6. b

Anjaly Stefhanie: nomer 4. a

Rania Adriani: sip

Adzkia Zaldiana: gue selesai

Hanacutexx: karna udah pada selesai

Lintang Shamira: mari kita bahas cowok yang tadi telat bareng lala

Sheila Navaro: dih apaan lu tai

Jauza Seli: halah gak usah tai2 an

Rania Adriani: iya bener

Rania Adriani: kita liat kok cowok yang bareng sama lo itu nutupin badan lo supaya gak kepanasan

Sheila Navaro: lagian lo pada kenapa bisa liat dah?

Anjaly Stefhanie: gimana gak liat, orang badan lo berdua paling gede diantara anak kelas sepuluh

Lintang Shamira: lagian goblok

Hanacutexx: emang siapa sih la? lumayan ganteng kalo gue liat mah

Jauza Seli: lah bukan lumayan lagi itu mah

Adzkia Zaldiana: lo pada jangan nunduk mulu

Adzkia Zaldiana: diliatin noh sama bu niken

**

Mumpung ada kuota, jadi cepet nge-post-nya wkwk

12 IPA 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang