19. Challenger Women

1.3K 106 5
                                    

19. Challenger Women.

"Lepas jam tangan sama gelang-gelang gak penting lo itu!" Perintah Lala sambil melepas pengait kalung yang berada di lehernya. Kaki keduanya tetap berlari walaupun terseok-seok.

"Emang kenapa?" Stevan menatapnya dengan kening berkerut.

"Mencolok, tau gak? Percuma aja daritadi ngehindar kalo akhirnya kecatet juga di black list. Elo, bukan gue."

"Kata lo, dia rabun jauh."

"Iya, tapi dia gak buta warna. Kita bukan cuma mau ngehindarin Pak Uum, kita mau ngelewatin ruang guru nih."

Stevan menurut, di lepas semua gelang-gelang karet yang di pakainya.

Setelah mencoba berkali-kali, Lala tetap tidak bisa membuka pengait kalungnya, maka dari itu dia langsung menarik benda yang melingkar di lehernya sampai putus. "Wali kelas lo siapa?"

"Bu Hj. Nenah. Dia juga yang lagi ngajar jam pelajaran sekarang."

Lala kontan terkekeh. "Kebetulan. Dulu guru itu sempet berurusan sama gue, mungkin sampe sekarang dia nggak akan pernah ngelupain tampang gue. Gampang kalo gitu. Biar gue yang ngomong."

"Lo mau nganter gue sampe kelas?"

Lala memasukan gelang-gelang tali yang sempat ia pakai ke dalam saku rok. "Trus lo mau ngomong apa? Masih bawa-bawa tas gitu. Kalo nongolnya bareng gue, Bu Hj. Nenah pasti nyangkanya gue yang bermasalah. Udah biasa itu sih."

"Ntar gue aja yang ngomong. Pasti dia ngerti." Stevan berusaha menolak dengan cara halus.

"Udah, ikutin aja. Lo tuh ribet banget." Gerutu Lala, dia masih harus melepaskan satu gelang lagi. "Lo kelas apa?"

"11 IPA 5."

"Hah?" Lala sontak memberhentikan langkahnya. "Lo masih kelas sebelas?"

"Iya, kenapa?" Tanya Stevan ikut berhenti.

"Eh, nggak papa." Ucapnya kembali berjalan.

"Lo anaknya nakal banget ya, Sheila?"

"Sumpah, ini bukan pertanyaan. Dan panggil gue kakak, karna gue kakak kelas lo." Lala menyeringai geli saat mengucapkannya.

Seisi kelas 11 IPA 5 menatap dengan wajah terpana, ketika terdengar ketukan pintu dan mereka mendapati Lala bersama Stevan berdiri di ambangnya.

"Ngapain kamu nginjek tanah anak kelas sebelas?" Tanya Bu Hj. Nenah tajam.

"Anak baru Ibu kesasar." Jawab Lala manis, di tambah dengan senyum.

Stevan menengadahkan wajahnya, menatap guru di depannya yang berkacak pinggang. "Maaf, Bu. Saya..."

"Duduk!" Perintah Bu Hj. Nenah. Stevan langsung tutup mulut dan mengikuti perintahnya.

"Ini salah saya, Bu. Bukan.."

"Ibu sudah tau kalau itu, pasti kamu yang buat dia kesasar!" Bu Hj. Nenah memotong ucapan Lala. Perempuan itu meringis lebar.

"Ibu tuh udah kayak paranormal aja, deh. Udah gitu, ngerti saya banget lagi. Duh, coba aja Ibu ngajar kelas dua belas, pasti nanti saya ketemu sama Ibu terus. Kenapa, sih, Ibu nggak pernah ngajar kelas dua belas, Bu?"

"Saya akan ngajar kelas dua belas, tapi nanti. Kalau kamu sudah lulus tepatnya!" Jawab Bu Hj. Nenah. Lala jadi tertawa, pelan tapi geli.

"Kalau gitu saya gak usah lulus deh. Ntar pas UN jawabnya disalah-salahin aja. Biar bisa jadi anak kelas dua belas lagi. Tapi janji ya, Ibu harus ngajar kelas saya?" Masih sambil menahan senyum, Lala menyalimi tangan Bu Hj. Nenah. "Saya permisi dulu ya, Bu. Assalamualaikum."

Bu Hj. Nenah kembali duduk. "Teruskan cacatan kalian!" Perintah Bu Hj. Nenah galak. "Dan Stevan, sini kamu maju."

Stevan maju ke depan dengan wajah tegang. Sesampainya di depan meja, perkataan guru itu langsung memasuki gendang telinganya.

"Kalau kamu nggak mau dapet masalah, kamu harus jauhi Lala!" Ucap Bu Hj. Nenah final. "Mengerti, Stevan?"

Stevan menggaruk tengkuknya. "Lala mana, ya, Bu?"

Bu Hj. Nenah mendesah pelan. "Perempuan yang tadi bersama kamu itu, nama panggilannya Lala."

"Iya, Bu."

"Yasudah, selesaikan catatan kamu!"

Ooo jadi di panggilnya Lala. Pantes aja gue tanyain ke orang-orang siapa Sheila, pada nggak tau.

***

Lintang memandangi wajahnya di cermin persegi bergambar kucing dengan perasaan gelisah. "Dari kosmetik gue belajar. Kalo gak cocok, gak boleh di paksain, nanti sakit."

"Najis, alay banget."

Lintang menegakkan tubuhnya ketika cermin kecilnya di rampas oleh Lala. "Berisik. Mending lo ceritain ke gue kenapa lo bisa telat tadi."

Lala buru-buru meletakan cermin itu di meja. Dia menarik tangan Lintang untuk mengikutinya. "Anterin gue yuk."

"Eh tapi itu ntar sosis yang lagi di beliin Steffi sama Rania gimana?"

"Cuma sosis, Anjing."

"Ye.. udah minta anterin tapi anjing-anjing."

Lala mengambil langkah ke tempat tadi dia mengantarkan laki-laki yang diseret dalam tawuran oleh musuh bebuyutan sekolahnya. Maka dari itu Lala dan teman-teman yang lainnya menghabisi anggota musuh dulu sebelum ke sekolah, dan langsung lari ketika Pak Uum datang.

Langkahnya semakin cepat saat mata perempuan itu menemukan orang yang di cari. Langsung saja dia mencengkram kerah baju Stevan. "Maksud lo kerja sama anak sekolah sebelah apa?"

"Kenapa, hah?" Tanya Lala lagi setelah menunggu beberapa saat dan Stevan sama sekali tidak membuka bibirnya untuk mengucapkan berbagai kata.

"Lo nggak mau ngaku? Atau lo lagi ngarang cerita bohong?" Di berinya Stevan dua pilihan dan laki-laki itu tetap tidak menjawab. Manik matanya terfokus menatap perubahan-perubahan wajah Lala sampai membuat darah perempuan itu mendidih kemudian menjawab pertanyaannya sendiri.

"Ini peringatan. Orang yang berani ngelakuin kesalahan sama buat gue itu berarti nantangin. Dan awas kalo lo berani ngarang cerita, liatin aja, lo abis ditangan gue, itu pasti!"


Lintang menahan senyumnya. Untuk Lala, melakukan kekerasan fisik di sekolah adalah pantangan, hukumnya mutlak. Tapi untuk kekerasan dalam ancam-mengancan, batasnya sangat bias. Lala akan membuat ribuan dusta jika memang dirasa itu cowok udah kebelenger ngeselinnya.

Lala memundurkan kepalanya kembali, namun cengkeraman pada kerah Stevan semakin keras. "Gue kasih lo waktu dan nggak akan gue kasih tau kapan deadline-nya. Jadi lo siap-siap. Terhitung mulai hari ini." Kemudian kakinya berangsur mundur dan berjalan pergi.

Belum sempat tiga langkah kaki Lala sempurna, ucapan Steveman membuatnya terhenti.

"Jangan nantang jadi orang. Lo nggak tau orang model gue tertantang kalau di hadapin sama sesuatu yang menantang."

Lala tertawa sumbangan sembari melirik sinis Stevan tanpa berbalik badan. "Basi. Nyesel gue nolong lo kemarin."

"Lo emang bener-bener minta di perjuangin, ya? Kalau lo sampai luluh dalam hitungan hari, tau rasa, ya?"

**

Post sehari sekali gak dosa kan?

Seneng udah 1,14 ribu *basi*

12 IPA 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang