26. Fuck of Rain

1.1K 87 3
                                    

26. Fuck of Rain.

"Lo nggak bawa jas hujan?"

"Kalau andaikan gue bawa, udah gue pake dari tadi biar gak telat."

"Jaket juga gak bawa? Eh, nggak, ini pertanyaan nggak jelas banget." Stevan menggaruk tengkuknya sesaat. "Lo pasti gak bawa juga kan?"

"Iya."

"Mau pake jaket gue?" Tawarnya.

"Gak. Lo bisa pake sendiri."

"Lo aja yang pake." Ujar Stevan sembari menyodorkan jaket kulit berwarna hitamnya yang biasa ia pakai bila sedang balapan motor.

Lala melirik jaket itu selama tiga detik sebelum pandangannya beralih menatap manik coklat Stevan. "Nggak perlu, makasih."

"Jam pelajaran lo udah mulai." Tidak perduli tolakan mentah dari Lala. Laki-laki itu tetap bersikeras agar Lala menerima jaket yang sudah ia sodorkan.

"Jam pelajaran lo juga." Balasnya cuek sambil melihat tetesan-tetesan hujan yang masih setia turun dengan derasnya.

"Hari ini gue masuk jam setengah delapan."

Lala memberikan senyum yang sengaja dipaksa. "Dari zaman gue masih kelas sepuluh, sekolah kita masuk tetep jam tujuh."

"Udah tau masuk jam tujuh, kenapa lo masih ada disini?" Tanya Stevan. Dia hanya ingin sedikit memancing emosi Lala pagi ini. Ingat, hanya sedikit.

"Lo nggak liat itu ujan?" Tanya Lala balik, diiringi getaran ponsel dalam saku rok-nya.

"Pake jaket gue. Seragam lo basah semua. Nanti kedinginan."

"Yaudah, udah terlanjur basah ini. Buat apa pake jaket lagi kalau gitu?" Tanya Lala sarkastik. Perempuan itu mengeluarkan ponselnya yang sedikit lembab.

Lintang Shamira: woy cepet

Lintang Shamira: gue udah ngerjain lima soal ulangan mtk

"Daleman lo keliatan."

Lala melirik Adeo ketika jari-jari tangannya masih mengetikan sesuatu. "Nggak usah bercanda. Nggak lucu juga."

Sheila Navaro: gue juga maunya cepet nyampe sekolah

Sheila Navaro: tapi begimane lagi, ujan deres

Sheila Navaro: mana segala ada si steven nawar2in jaketnya

Sheila Navaro: dosa apa gue ampun

"Warna merah, kan?" Tanyanya santai, seolah kejadian itu sudah biasa.

"STEVAN!" Bentak Lala.

"Gue emang suka ngeliatnya, cuma gue takut nggak kuat iman." Ucap Stevan membuat Lala menggeram kesal, namun masih tidak ingin menanggapi.

"Gue nggak percaya."

"Mau gue fotoin?"

Lala berdecak lagi. "Stevan, gue mohon. Lo bisa pergi ke sekolah sendiri pake motor lo. Gak usah bikin masalah baru di sini sama gue." Pinta Lala. Sungguh, perempuan itu sangat sadar, mood-nya jika masih pagi hari sangat payah.

"Kalau gue ke sekolah. Trus nanti lo di halte sendiri? Gue nggak mau, Sheila."

"Berenti pura-pura perduli sama gue kalau nyatanya lo cuma mau ngorek informasi tentang gue, Stevan." Cetus Lala akhirnya. "Lo pikir berita lo yang masuk sekolah Nusa Bangsa karena lo mau cari titik lemah gue itu belom sampe ke kuping gue?"

Stevan mengerutkan dahinya. Sampai ia mengerti, perempuan di hadapannya itu sedang membahas apa sekarang, maka dari itu dia putuskan membalas, "Dan lo pikir waktu gue bonyok dan dateng ke rumah lo buat minta di obatin itu karena apa, Sheila? Itu semua karena lo. Karena gue jatuh cinta sama lo."

"Percaya sama lo itu musyrik!"

"Pake jaket gue, Sheila. Lo batu banget, sih!"

"Ntar gue bingung balikinnya."

Stevan tertawa kecil. "Gue masih satu sekolah sama lo. Trus, kalau lo nggak mau balikin juga gapapa."

Lala kembali berdecak, entah keberapa kalinya untuk pagi ini. "Males, ah!"

"Nanti lo di hukum karna telat, Sheila."

Lala menatap dalam dan tajam iris mata Stevan, berusaha membuat laki-laki itu takut dan berhenti mencoba meminjamkan jaketnya. "Di hukum nggak bikin gue jones selamanya. Lagian yang dihukum juga gue, bukan lo." Gue dihukum tiap hari aja biasa lanjutnya dalam hati.

Lintang Shamira: ambil aja udah jaketnya

Lintang Shamira: jam pelajaran pertama udah mau abis nih

Lintang Shamira: sisa lima belas menit lagi buat nyampe pelajaran ke dua

Lintang Shamira: gue nggak yakin lo bisa nulis secepet itu.


Stevan menarik napas kasar. Perempuan yang di depannya ini benar-benar memang menantang sekali untuk di taklukan. "Apa gue harus pakein jaketnya?"

"NGGAK PERLU!" Lala menarik jaket itu dari tangan Stevan.

Saat hendak berjalan, tangannya di cekal oleh Stevan membuat dia harus berbalik badan lagi. "Naik motor bareng gue aja, jalanan licin. Gue tau, lo pasti jalannya ngebut. Nanti jatoh."

Lala menarik tangannya. "Gue nggak sebego itu, makasih." Dia langsung berjalan cepat sambil terus menggerutu. "Mending gue kepleset sampe nyusruk-nyusruk daripada harus berdua terus sama dia. Bikin dosa."

***

"Tadi, kan, ujan deres, Bu. Masa iya saya mau basah-basahan di sekolah."

Tolong, siapapun itu, berikan alasan yang masuk akal apabila guru Matematika di hadapannya memberi pertanyaan mendetail.

"Ibu tadi berangkat jam setengah tujuh, dan itu belum hujan. Pasti kamu dari rumah juga udah telat kan?" Seperti yang sudah Lala duga. Guru bernama Henny itu tidak akan memberikan Lala duduk dengan mudah dan cepat.

Lala menggigit bibir bawahnya sebelum kembali menjawab. "Pekerjaan rumah saya banyak, Bu."

"Apa?" Todong Bu Henny.

"Bantu Mama saya nyuci piring, sapuin halaman rumah, trus nyikat kamar mandi, pokoknya banyak deh, Bu."

Kedua alis mata guru berbadan tambun itu mengait refleks. "Beneran?"

"Bohong tuh, Bu." Celetuk Adeo yang sedaritadi sudah gatal untuk menimpali. "Lala, sih, paling nyuci kenangan, nyapu masa lalu, nyikat pacar orang atau nyuci bayang-bayang mantan, Bu."

Satu kelas dibuat tertawa dan mengundang lirikan sinis Lala.

"Ye itu sih lo, ya."

Bu Henny mengehela napas. "Kamu duduk, deh, Sheila. Kerjain ulangannya."

Lala mendesis ketika sudah duduk di bangkunya. "Gue mau cerita banyak abis ini." Bisik perempuan itu pada Lintang.

**

12 IPA 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang