31. Penguntit.
Adeo benar-benar kesal sekarang. Gimana dia nggak meracau terus kalau niatnya untuk senang-senang malah harus memakai kostum Stitch kegombrongan untuk jadi mata-mata? Iya, ini memang alasan Steffi tidak mau semobil dengan Lala dan Stevan karena ingin melihat gaya pacaran mereka. Steffi emang ribet, padahal urusin aja diri sendiri yang jones akut.
"Gue dari rumah udah ganteng-ganteng, terus di sini malah disuruh jadi badut? Lo yang bener aja dong, Fi." Oke, mungkin ini gerutuan terakhir Adeo karena mereka menangkap adanya Lala dan Stevan di sana.
Adeo, Lintang, Steffi dan Rania buru-buru balik badan sebelum Lala menyadari kehadiran mereka berempat.
"Kalau gini terus, gue bisa sport jantung." Ujar Adeo berbisik sambil mengusap-usap dadanya. Sumpah, ini beneran bikin deg-degan, parah.
Steffi melirik tempat Lala tadi berdiri melalui ujung ekor matanya dan ternyata perempuan itu sudah tidak ada lagi ditempat tadi, berarti situasi aman. "Nggak ada."
"Gue lemes anjirr..." Rania terduduk tidak berdaya. Persendiannya terasa seperti Oki Jelly Drink, letoy abis!
"Kayaknya bagusan kita ngikutin langsung dibelakangnya aja, deh. Kalau gini, emang kita tau Lala sekarang ada dimana? Enggak, kan? Mending cari ayo! Daripada kita keliling-keliling nggak jelas." Kata Lintang. Dia males banget kalau harus nyari-nyari orang diantara ratusan orang di Dufan. Dan Dufan juga tidak bisa dibilang kecil, kan?
Rania mengangguk setuju. Sementara Adeo dan Steffi buang muka. Lintang berdecak keras, andai bukan teman, entah apa yang akan dilakukan perempuan itu pada Adeo dan Steffi.
"Lagian sok ngide banget, sih, jadi orang. Ngintilin orang pacaran segala!" Seru Adeo cepat ketika pandangannya tidak sengaja bertubrukan dengan Steffi. Walaupun sebentar dan Steffi juga langsung mengalihkan tatapannya lagi, Adeo tetap mengeluarkan pikirannya.
Steffi menoleh. "Misalkan gue, Lintang atau Rania bisa bawa mobil, nggak ada yang namanya ngemis-ngemis minta anter lo!" Balas Steffi. Dia mati-matian menahan tangannya yang hendak melayangkan pukulan.
Lintang menarik napas melalui mulutnya. "Kalau lo berdua nggak mau ikut saran gue, terserah! Gue enggak perduli. Intinya gue capek dan ini juga udah panas banget."
Lintang bergegas mencari keberadaan Lala. Perempuan itu menguncir rambutnya menjadi satu sebelum membantu Rania berdiri. Namun belum ada satu langkah meninggalkan Adeo dan Steffi, gerombolan anak kecil beserta ibu-ibunya datang untuk meminta foto dan bermain.
Adeo yang belum siap dengan hal itu menganga lebar. Kekesalannya semakin menjadi-jadi tatkala seseorang menyelipkan uang dua ribu rupiah lecek ke tangan Adeo, mana ujungnya sedikit sobek, banyak coret-coretan pulpen juga. Lah? Dikira, gue orang-orangan yang ada di Kota Tua?
Steffi menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Hidungnya sedikit berkerut melihat Rania yang tidak begitu suka anak kecil harus dikerubungi belasan iblis kecil menyebalkan begitu. Steffi semakin meringis, alamat dicaci maki habis-habisan ini, sih.
Steffi berjalan pelan menuju Lintang, Rania dan Adeo yang saling berdekatan. Dia membisikkan sesuatu agar para ibu-ibu itu tidak begitu ngeh. "Lo bertiga cari Lala. Ini anak-anak kecil semua biar jadi urusan gue. Kita ketemu lagi didepan Rumah Kaca."
Dalam hitungan ke tiga. Adeo, Lintang dan Rania benar-benar melarikan diri. Belum sempat menemukan Lala, Rania menabrak laki-laki yang membawa dua cup minuman dan dua-duanya menumpahi kostum Rania, menembus sampai baju dalam perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
12 IPA 1
Teen Fiction"Nama gue Sadeo Kenzo." "Nama gue Sheila Navaro." "Nama gue Lintang Shamira." "Nama gue Anjaly Stefhanie." "Dan nama gue Rania Adriani." "Kami bersama-sama, melunakkan ego dan hati."