Kamis itu, langit nampak terik. Membuat sebagian orang memilih mendinginkan badan di mall. Tak terkecuali, Bram. Ia baru saja keluar dari gerai Starbucks dengan tangan membawa Ice Capucinnonya karena merasa kegerahan dan memutuskan untuk jalan-jalan sebentar melihat apa ada yang bisa dibeli untuk Tania mungkin, atau ibunya. Saat sepasang mata itu menangkap sesuatu, lebih tepatnya seseorang.
"Nabila.." Gumam Bram pelan. Sudah lama sekali rasanya Bram tak bertemu sosok Nabila. Terakhir kali bertemu adalah tiga minggu lalu, di rumah wanita itu dengan keterkejutan Bram yang drama akan seseorang yang dikenalkan Nabila sebagai Ayahnya. Nabila sibuk hingga ia sering menolak ajakan Bram untuk mengunjungi pameran karya lagi. Entah itu nyata atau Nabila memang sengaja menjauhi Bram. Tapi ketika Bram memastikan itu pada Dito yang juga bukan kepalang sibuk, Bram percaya akan kejujuran Nabila. Ah, wanita itu memang kelewat jujur dan polos. Untuk apa juga Nabila menghindari Bram yang superior itu? Bram kelewat percaya diri.
Wanita itu tidak menyadari kehadiran Bram. Ia berada di dalam departement store. Dengan pakaian kerjanya yang sedikit jadul dan tertutup seolah takut akan ada predator yang mengancam, rambut dikuncir kuda namun rapi, dan bibirnya yang terkatup rapat itu berkonsentrasi untuk memilih sebuah kemeja. Memilih-milih sekiranya pakaian mana yang bagus.
Suatu keberuntungan di siang bolong yang menyenangkan, rutuk Bram. Lambat-lambat ia tersenyum tapi masih berdiam di posisinya. Tapi seketika terhenyak. Mengapa Nabila yang manis itu tengah berada di kumpulan pakaian khusus pria? Apa dia akan memberikannya kepada teman kencannya? Atau taksirannya di kantor? Atau..parahnya lagi, Nabila sudah punya pacar? Kegelisahan melanda Bram disitu. Padahal pria itu tak sadar diri, ia sudah lebih dulu punya calon istri dan tengah mengamati gadis yang bukan siapa-siapa baginya.
Nabila di ujung nampak menimbang-nimbang sebuah baju. Setelah merasa cocok akan dua kemeja pria pilihannya, ia menuju pramuniaga dan kasir. Hingga keluar kesenangan sembari menenteng paper bag lumayan besar dengan logo tokonya, dan terkesiap melihat Bram yang berdiri tidak jauh dari depannya.
"Lho, Pak Bram?"
Bram yang dipanggil terlonjak. Ia kesal sendiri sampai gadis itu sudah menyapanya dengan raut aneh. Senyumnya keluar tapi meringis.
"Eh, Nabila? Sedang apa disini?" Bram mendekat dan mendapati tubuh Nabila yang memang kepalang jauh tingginya dengan tingginya sendiri. Mungkin sekitar 152 cm? Dan Bram sendiri 181, mirip tiang listrik.
Nabila mengangkat tas belanjaannya, malu-malu.
"Beli kemeja, Pak" jawabnya singkat. Lelaki itu menggigit kulit di dalam bibirnya. Menahan percikan api cemburu yang mendadak menjalar di hatinya.
"Buat..pacar ya? Kok belinya baju pria?" Bram bermaksud membuang muka kalau-kalau Nabila itu menjawabnya dengan kalimat 'iya'. Tapi terima kasih kepada Tuhan. Nabila menggeleng cepat, menolak asumsi aneh-aneh Bram.
"Buat Ayah saya, Pak. Bajunya sudah jelek. Ini saya barusan gajian"
Dan rasa-rasanya, Bram ingin sekali memeluk Nabila. Sudah manis, baik, sayang orang tua lagi.
"Udah gajian? Saya nggak dibeliin nih?" Goda Bram genit, keduanya kini berjalan pelan beriringan menuju lobby mall. Dan godaan kecil itu sukses membuat pipi halus itu memerah malu.
"Bapak..mau?"
Langsung saja tawa Bram meledak. Kopinya sampai terciprat keluar. Ia belum pernah tertawa selepas ini mendengar perkataan polos dari seorang wanita. Menggemaskan.
"Saya bercanda aja kok, Nab. Kamu kenapa sih? Tegang banget. Saya kan udah naik level jadi temen kamu. Eh tapi nggak apa-apa deh klo beneran dibeliin sama kamu"
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...