Jika Nabila kehilangan ayahnya, Bram kehilangan dua hal sekaligus dalam hari ini. Ayah mertuanya dan keceriaan Nabila. Wanita itu sejak kepulangan jenazah serta pemandian hanya terus diam dengan pandangan kosong.
Hancur hati Bram. Dia tidak kuat melihat Nabila yang seperti ini. Tapi dia juga tidak ingin meninggalkannya. Dipeluknya istrinya tersebut dengan miris hati. Para tetangga berdatangan untuk membantu prosesi pemakaman ayah Nabila. Jenazah sang ayah pun sudah dibalut kain kafan putih.
Tiba saatnya untuk para sanak saudara berdoa dan mengucapkan kata perpisahan untuk almarhum yang telah berpulang. Om Helmi mempersilahkan Nabila serta Bram lebih dulu untuk mendekat. Dan ketika Nabila melihat wajah ayahnya yang sudah memutih dingin nampak terlelap damai, tangis itu pecah. Hingga wanita itu bersimpuh memeluk ayahnya. Dia tidak kuat harus merelakan ayah padahal masih banyak yang ingin Nabila lakukan bersama ayahnya.
Bram juga menangis. Mengusap kening ayah mertuanya dengan sayang. Lalu menuliskan dengan jari lafadz Allah di kening sang ayah. Seraya melihat Nabila berbisik di telinga sang ayah.
“Tidur yang nyenyak, ayah. Selamat jalan.”
***
“Sayang, makan ya?” sekali lagi, Nabila tidak merespon. Jejak air mata tercetak jelas di sudut kelopaknya. Malam ini rumah Nabila mengadakan pengajian. Bram jadi teringat saat pagi tadi dia tak bisa menahan tangis ketika jenazah almarhum ayah diturunkan ke liang lahat. Bram juga ikut turun dan menangis dibawah. Menatap wajah ayah mertuanya yang sudah pucat. Dan ketika dia mendongak ke atas, Nabila menangis pilu. Karena ini akan menjadi hari terakhir dimana Nabila dapat menatap wajah sang ayah.
Itu adalah kejadian yang paling menyedihkan selama hidup Bram. Memberi penghormatan terakhir pada ayah, menidurkan jenazahnya sampai ke tanah, dan menyaksikan bagaimana tangisan Nabila yang amat ditinggalkan.
“Tante.” Panggil Bram melihat tante Sinta yang wari-wiri dari dapur ke ruang depan untuk menyajikan cemilan tamu. Wajah tante Sinta nampak lelah. Tapi tetap tersenyum menghampiri kedua ponakannya.
“Nabila nggak mau makan?” tanyanya. Bram mengangguk sedih.
“Tante ambilin nanti kamu suapin coba.”“Sudah tadi, tetep nggak mau buka mulut.” adu Bram putus asa. Tante Sinta menghela nafas kemudian berjongkok di depan Nabila. Memegang tangannya. Nabila sama sekali tidak bergeming.
“Makan ya, sayang. Nanti malah ambruk. Kasihan om kalau lihat kamu kaya gini.” baru setelah itu, Nabila menoleh kepada tantenya. Sorot mata yang amat hampa terpancar. Bukan hanya Bram yang miris, tante Sinta juga.
“Makan ya?” yakin tante Sinta. Nabila tidak mengangguk dan tidak menjawab. Tapi tante Sinta menganggap tundukan Nabila adalah setuju. Sehingga dia kembali dengan satu piring soto ayam panas. Bram yang menerimanya.
“Kamu juga mau diambilin?”
“Nggak usah, tan. Aku gampang.” jawab Bram bersiap menyuapi Nabila.
“Kamu juga harus makan, Bram. Nabila ambruk kamu ntar ikut-ikutan.”
“Iya, tante. Ini nyuapin Nabila dulu.” Selepas tante Sinta berlalu, Bram menyendokkan nasi ke bibir Nabila. Bagi Nabila, nasi itu bak bongkahan jerami rasanya. Hambar.
Makin lama, lantunan ayat suci semakin terdengar. Nabila tidak ikut keluar karena dia sudah tidak berdaya. Tapi saat ia mendengar pemimpin pengajian tersebut menyebutkan nama ayahnya, air mata itu turun lagi. Nabila mengusapnya sambil terisak. Dibenaknya hanya ada ayah...ayah...dan ayah. Dipejamkan mata, dia melihat semua memori indah nan lucu yang pernah ia lakukan bersama ayah. Meskipun dalam keadaan sudah tak bisa berbicara, ayah masih bisa melucu. Membuat putri satu-satunya tersebut tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...