Tidur Bram nyenyak sekali malam ini. Saking nyenyaknya, dia membuka mata dan langsung merasa begitu damai. Kesedihan, duka, stress yang sempat menumpuk hilang tidak berbekas. Mata Bram yang mengantuk kini mengamati keadaan kamar dengan bingung. Kok sepi sekali. Meskipun Bram ditemani sinar matahari yang mengintip dari jendela, tapi rasanya ada yang kurang. Istrinya kemana?
“Nab?” panggil Bram yang menyusut kedua matanya dan bangkit. Dia meregangkan badan sebentar sebelum berjalan keluar dari kamar. Pemandangan yang indah melebihi apapun. Melihat punggung istrinya tengah sibuk di dapur. Entah berbuat apa, yang jelas bukan main jelangkung. Pasti masak. Pikir jahil Bram.
Lelaki itu mendekat supaya dia bisa merengkuh tubuh Nabila yang super mungil buatnya. Memeluknya dari belakang romantis ala-ala novel cewek. Lalu Nabila terkejut kecil mendapati Bram menciumi dirinya.
“Ngapain?” tanya Bram mengantuk dan mengendus aroma natural Nabila. Tidak perlu dijawab, Bram pun tahu kalau Nabila sedang mengiris sayur-sayuran. Dan Bram juga tahu ada senyum menghangatkan tercetak di bibir Nabila. Menyenangkan bisa melihat istri barunya sibuk didapur pagi-pagi. Tapi lebih membahagiakan lagi ketika Nabila melakukannya dengan senyuman indah, tanpa ada jejak kesedihan didalamnya.
“Buat sarapan. Hari ini harus masuk kerja semua.” jawaban Nabila membuat Bram mengerutkan kening. Dia juga menyentuh dahi Nabila sampai mata wanita itu tertutup lucu.
“Masih anget gini badannya. Nggak boleh! Istirahat dulu dirumah.”
Nabila langsung cemberut protes.
“Aku udah bolos dua hari lho, mas. Nanti pak Dito...”“Nggak! Dito bilang kalau kamu udah sembuh betul baru boleh masuk.”
“Yah, mas...”
“Nurut, Nab! Nanti aku aduin ke bos kamu lho.” tegas Bram yang sukses membuat Nabila menghela nafas pasrah. Padahal ia merasa sudah membaik.
“Iya deh. Tapi anterin ke rumah ya, mas. Aku...mau ambil barang-barangku.” entah kenapa suara Nabila berubah pelan dan sendu. Atmosfir duka kembali lagi.
“Kenapa diambil?”
Nabila memilin jari-jemari Bram. Sebetulnya dia sulit melontarkan ini. Terasa ada batu mengganjal di tenggorokannya tiap kali mengingat sang ayah. Mungkin Nabila tidak rela ditinggal ayahnya, tapi ia akan berusaha mengikhlaskan. Toh juga baru dua hari sepeninggalan ayah.
“Aku...mau tinggal disini aja, mas. Aku nggak kuat ada dirumah. Aku jadi mikir macem-macem tentang ayah. Niatku sih, aku mau jual aja rumah itu.”
Bram mengerti. Mungkin ini cara Nabila untuk move on dan mengikhlaskan kepergian sang ayah. Tidak masalah. Beberapa orang punya cara tersendiri. Asalkan istrinya itu tidak lari dari kenyataan. Bram mencium kening Nabila yang dirasa masih terasa demam.
“Mas janji, kalau proyeknya mas bulan ini udah hampir selesai, langsung mau bikinin rumah buat kamu. Buat kita.” Nabila tersenyum berterima kasih dan memeluk Bram.
“Makasih, sayang.”
“Udah istirahat aja dulu.”
“Aku bikinin kamu sarapan dululah.”
“Nggak usah. Aku bikinin kopi aja.” Nabila langsung mengkerut.
“Belum sarapan kok udah ngopi? Susu aja gimana? Atau teh jahe?”
Bram mendekat dengan seringaian misterius. Seringaian yang hanya muncul kalau mereka berduaan, mesra-mesraan, dan meminta jatah. Tangannya yang besar juga meraba-raba tubuh Nabila yang hanya dibalut baju tidur.
“Susu aja deh. Tapi...” lalu Bram membisikkan sebuah kalimat dimana Nabila menjawab dengan cubitan.
“Hih! Pagi-pagi nakal. Udah ah aku mau masak!” Bram tergelak mendengar gertakan Nabila. Keduanya tertawa lepas. Bram merasa senang sekali akhirnya keceriaan Nabila kembali. Dan Nabila bersyukur. Ayahnya memang pergi, tapi dia memiliki seorang pengganti. Dia Bram, suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...