Sorry for the late update,sok sibuk bener aqutu...
***
Tidak ada yang lebih menyedihkan ketika menjalani hari dengan duka yang mendalam. Tidak ada yang lebih menyakitkan ketika menjalani hari dengan kenangan manis yang pernah dirajut, tapi kenangan itu tidak bisa diulangi kembali. Karena memori memang hanya sebuah memori.
Nyonya Miranda prihatin sekali dengan keadaan Nabila. Sudah dua mingguan ini dia dimintai tolong Bram untuk menunggui Nabila di apartemennya. Mengabaikan amukan sang ibu mertua, karena nyonya Miranda kemari bukan hanya untuk menuruti perintah putranya saja. Tapi dia juga tidak bisa melihat menantunya itu bersedih. Sangat sangat bersedih.
Siapa yang tidak? Seorang calon ibu, anaknya sudah besar dan siap dilahirkan dari dalam perut, sudah mempersiapkan semuanya, sudah cuti, lalu bayinya meninggal. Sisa cuti kelahiran Nabila dihabiskan wanita itu dengan banyak merenung. Kadang menangis. Bahkan sudah lewat dua minggu terakhir bayinya disemayamkan.
"Nab, temani mama makan siang yuk." bujuk nyonya Miranda lembut menyentuh bahu Nabila yang sedang duduk diam di sofa menghadap jendela yang menampilkan pemandangan langit biru cerah sekali. Nabila merespon dengan menoleh tanpa senyum. Sebetulnya Nabila ingin menolak karena dia sama sekali tidak lapar. Tapi jelas tidak sopan menolak ibu mertuanya ini.
"Kamu mau telur gulungnya?" tawar nyonya Miranda hendak mengambil lauk pauk untuk menantunya. Nabila menggeleng.
"Nabila minum kopi aja, ma." jawabnya pelan.
"Kok kopi terus? Makan ya? Kamu kurusan lho nanti asam lambungnya naik kalau diisi kopi melulu." sekali lagi nyonya Miranda memaksa. Belum sempat Nabila menolak lagi, ibunya itu sudah mengambilkan piring, nasi, lauk, sayur, dan lain-lain yang dia masak. Lihat, baik kan ibu mertuanya? Mana tega Nabila menolak.
Akhirnya dengan terpaksa dia memakan makan siangnya dengan kunyahan pelahan. Dan rasanya tetap sama, terasa seperti Nabila mengunyah bongkahan kardus. Mungkin ada yang salah dengan indera pengecapnya. Tapi Nabila tidau mau ke dokter. Cukup terakhir kali dia kehilangan bayinya.
"Mama lagi pingin tas dior nih di GI kemarin temen mama ada kasih tahu. Lucu gitu warnanya gold. Kamu mau temenin mama nggak? Kita shoping-shoping gitu. Pakai aja kartunya Bram. Paling dia marah lima menit, lima menitnya lagi udah lupa." ajak sang mama bersemangat. Tapi Nabila bersikap kebalikannya.
"Nabila...harus beres-beres rumah, ma. Maaf."
"Haduh, biarin rumahnya nanti aja. Besok kan juga bisa."
"Tapi...kamarnya berantakan..."
"Nggak papa, seneng-seneng aja dulu. Ya mau ya?" Nabila terus menggeleng sampai mama meraih tangan menantunya itu. Agak hangat.
"Nab..."
"Kamarnya berantakan banget, ma. Maaf." Lalu Nabila meninggalkan piringnya yang bersisa masih banyak. Kemudian pergi menuju kamar untuk membersihkannya. Nyonya Miranda mendesah putus asa. Dia tidak lelah harus menghibur atau menemani Nabila seperti ini. Sungguh. Tapi dia hanya kasihan dari hari ke hari melihat Nabila yang menarik diri dan tidak mau beranjak dari kenangan menyakitkan itu membuat nyonya Miranda juga tersiksa. Ingin menangis karena sungguh sedih.
Terdengar bunyi vakum cleaner menyala , nampaknya Nabila mengulangi membersihkan karpet kamar yang padahal sudah dilakukannya kemarin. Akhirnya nyonya Miranda membiarkan Nabila seperti itu. Lebih baik melihatnya membersihkan rumah dengan sibuk ketimbang melihatnya duduk sendiri, merenung, tiba-tiba menangis tanpa suara.
***
"Pak Bram."
Bram tersentak ketika namanya diserukan oleh seseorang. Dia memutar kursi putarnya yang semula menghadap ke jendela, ke depan mejanya. Faisal salah satu juniornya memanggilnya dengan raut sungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...