Sabtu siang di gerai Starbucks saat itu nampak mengasyikan. Para pelayan terlihat ramah melayani customer tanpa bermuka suntuk, para gadis-gadis remaja sibuk ngerumpi dan tertawa riang, sedangkan beberapa dewasa yang kopi holic mengobrol dengan rekannya begitu santai.Di sebelah dinding kaca kafe, Nabila duduk disitu. Tak ada raut tegang yang biasa menemani kehidupannya sehari-hari. Yang ada malahan bibir itu nampak terkatup rapat menggemaskan. Kepolosannya yang unik itu bisa saja membuat para lelaki asing kagum dengan wajahnya. Salah satunya ya pria satu ini, yang duduk persis di hadapan Nabila.
Bram menyesap kopinya sejenak, tetapi matanya masih lekat memandang pada kekasihnya tersebut yang tengah melipat sisa struk pembayaran kopi untuk dijadikan origami. Kekasih? Halah rasanya badan Bram menggelenyar dengan enak. Bukan karena cappucinonya, tapi lebih kepada enam kata tersebut.
"Bikin apa sih?" tegur Bram mencoba menggoda keseriusan Nabila. Wanita itu hanya tersenyum simpul, dan melanjutkan pekerjaannya tanpa repot membalas tatapan Bram.
"Liat aja ntar." telatennya.
Disepakati, Sabtu ialah hari mereka berdua. Dan hanya sampai jam lima. Tak sampai hati Bram tega menduakan prioritas Nabila untuk ayahnya yang terbaring di rumah. Minggu pun Nabila juga harus dirumah, membagi waktunya dengan ayah setelah satu minggu penuh ia tinggalkan. Malah terkadang, Bram menawarkan dirinya untuk kencan di rumah Nabila saja seperti zaman-zamannya anak SMA ngapel ke rumah ceweknya.
Bram tidak keberatan. Sungguh. Melihat kondisi ayah Nabila, justru membuat ia jauh lebih banyak berpikir. Membayangkan, bagaimana kalau papanya yang masih bugar dan masih bisa menjaga perusahaan keluarga saat ini, berbalik menjadi sosoknya seperti ayah Nabila. Bram saja tak berani memikirkan ketika Nabila berjuang sendirian saat dia yang masih muda harus merawat ayahnya sendirian tanpa bantuan siapapun.
"Udah jadi!" pekik Nabila kecil yang mampu membuyarkan lamunannya. Dilihatnya struk itu melompat-lompat kecil ketika disentuh Nabila.
"Apaan nih? Kodok?" tanya Bram setengah terkikik. Ikut menekan bagian belakang tubuh katak kertas tersebut, sehingga katak struk Starbucks itu melompat.
"Aku suka bikin ini klo lagi nggak ada kerjaan dikantor. Daripada ikut mbak Arin ngegosip. Bobotku ntar naik soalnya nambah dosa." ujar Nabila cengengesan dan menyedot grean tea lattenya dengan sabar. Bram terpekur, senyumnya tak pernah hilang. Berhari-hari sudah, rasanya nilai plus untuk Nabila semakin bertambah di matanya. Dia heran, mengapa beribu pria di muka bumi ini tak pernah menyadari ada wanita brilian macam Nabila begini. Apa mereka buta atau memang Nabila adalah makhluk invisible? Entahlah. Yang jelas, dari beribu pria, Bram merasa beruntung.
"Kenapa? Biasanya cewek kan suka gosip-gosip gitu."
Nabila sekali lagi tertawa. "Males, mas. Yang digosipin aja aku nggak tau. Mana nyambung. Mending bikin kodok dari kertas, lumayan iseng."
"Oh, jadi klo kamu kenal orang yang jadi bahan gosip kamu mau ikutan?" selidik Bram mendelik main-main.
"Masalahnya, yang aku tahu dijadiin bahan gosip itu artis doang."
Bram gemas sendiri, mengacak poni Nabila membuat wanita itu berkelit lucu.
Sejenak, Nabila memandangi suasana sekitar kafe yang ramain namun tetap bersahaja. Tidak norak macam di warung. Sadarlah, ini kan gerai kopi mahal.
"Mas Bram biasa ya ngopi-ngopi disini?"
Bram berhenti memainkan kataknya yang lucu. Berpaling pada Nabila, menatapnya lembut.
"Sering sih. Aku kan kecanduan banget sama kopi."
"Sering minum disini? Dulu juga kan yang ketemu sama aku pertama kali juga disini kan?" tanya Nabila agak mendelik mengingat-ingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...