Dua puluh dua - BACK TO THE REALITY

11.4K 921 32
                                    

A/N : maaf ya aing baru bisa update minggu. soalnya kemaren aing lagi gak enak badan plus ada kerabat yg meninggal otomatis hectic terus ambruk kecapekan lagi. dan ini draft terakhir PI dileptop, minggu depan gatau deh bakal update sesuai jadwal apa gak tergantung mood aing. Eternal love juga gitu tergantung mood wkwkw

Enjoy ^^

***

Semilir angin menerpa. Suara deburan ombak dari pemandangan di depan mata mampu membuat siapa saja yang melihat menjadi tenang, damai dan mengantuk. Matahari bersinar cerah, namun dari sini amatlah teduh. Bram memasukkan anggur hijau ke dalam mulut lalu mengunyahnya. Dia membawa mug berisi kopi dan bersandar pada kusen pintu balkon. Menatap sejuknya angin, indahnya hasil buatan tangan Tuhan : laut dan Nabila.

Bram tersenyum melihat istrinya itu sedang tidur di kursi pantai. Dia biarkan beberapa menit sebelum akhirnya meletakkan mug di meja kopi, dan perlahan ikut berbaring berdesakan di satu kursi pantai yang dipakai Nabila. Wanita itu tersentak namun menghela nafas saat tahu siapa yang menganggu tidurnya.

"Aku ketiduran ya?"

Bram merengkuh Nabila. Melarangnya untuk pergi alih-alih kembali tidur bersama. Meletakkan kepala kecil sang istri ke dada. Ingin Nabila tahu bahwa selama ini jantung itu akan terus hidup karenanya.

"Cuman lima belas menit." jawab Bram ikut menikmati terpaan angin laut.

"Nggak ke bandara sekarang?"

"Masih ada waktu dua jam lagi. Bentar lah, enakin dulu tidur sini. Besok udah tidur dirumah soalnya." kata Bram sedikit sedih karena besok sudah waktunya untuk kembali ke hidup mereka yang keras dan melelahkan. Nabila mengusap rambut tebal suaminya. Menjadi ikut kecewa karena ini adalah hari terakhir keduanya bulan madu. Walaupun senang akan kembali bertemu ayah, tapi Nabila sudah langsung terserang hawa malas bekerja.

"Kapan ya bisa liburan lagi bareng-bareng sama ayah juga?"

Bram mencium kening Nabila penuh cinta.

"Soon. Kita cari libur panjang. Kalau kamu masih takut pergi jauh-jauh, kita bisa ke Bali. Ke Lombok. Atau ke puncak aja bisa naik mobil."

Mendengar kata puncak, mata Nabila langsung bersinar cantik sekali. Senyumnya terpatri senang.

"Puncak aja, mas! Dulu pas masih ada ibuku, aku sekeluarga suka ke puncak. Naik kuda, makan jagung bakar, terus sewa villa gitu. Ayah pasti suka udara gunung kan adem terus bersih. Ke puncak ya mas?!" pekik Nabila kegirangan mirip seperti anak SD yang meminta mainan. Bram terkekeh menyadari bahwa menyenangkan Nabila itu mudah sekali. Ibarat dia ditawari lontong mie dan steak daging yang dimasak well done lalu diberi saus barbeque nikmat, Nabila akan memilih lontong mie. Eropa atau Singapura, dia memilih puncak. Tapi itulah istrinya. Berkilau dalam kesederhanannya.

"Mama punya satu villa di puncak. Nanti kalau jadi kita bisa nginep satu keluarga disana."

"Boleh?"

"Ya boleh dong."

Dan wanita itu tertawa-tawa seolah besok sudah siap pergi ke sana. Memeluk sang suami erat sekali berterima kasih karena sejak bertemu Bram, Nabila merasa amat dibahagiakan. Bram seperti lelaki pengganti ayahnya. Bram menjadi dua sosok yang diharapkan Nabila selama ini. Sosok ayah dan suami sekaligus. Betapa beruntungnya dia.

***

"Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara internasional Jakarta –Soekarno Hatta,perbedaan waktu antara Singapura dan Jakarta adalah satu jam. Kami persilahkan untuk anda kembali duduk, mengencangkan sabuk pengaman..."

PERFECTLY IMPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang