Dua puluh tujuh - KECEBONG

11.8K 942 32
                                    

Ayah sudah pergi, namun Nabila harus tetap melanjutkan kehidupannya. Duka yang mendalam pun perlahan terkikis oleh waktu. Rindu yang menggebu semakin menambah, tapi rasa ikhlas juga semakin membesar dihati Nabila.

Nabila masih tetap tinggal di apartemen bersama suaminya. Dan rumah peninggalan kedua orang tuanya kini resmi ditinggali oleh dua adik sepupu Nabila yang tengah merintis karir di Jakarta. Mereka dengan santun ingin memberi Nabila uang sewa, tapi kakak sepupu mereka yang baik hati itu dengan keras menolak. Alasannya karena Fahmi dan Vando masih bersaudara. Tak perlu sungkan. Asal mereka harus tetap sadar diri untuk membersihkan rumah.

Siang ini hujan, membuat kantor firma hukum Dito sedikit dingin. Nabila yang kedinginan menuju pantry bermaksud membuat teh. Nampak mas Wira, salah satu karyawan disini sedang membuat kopi.

"Kopi, Nab?" tanyanya menawarkan. Nabila tersenyum menggeleng.

"Teh aja, mas."

"Oh iya, ada bikang ambon tuh. Pak Dito habis dari Medan." Nabila menyendok gula dan menuangkan air panas dari dispenser ketika mendadak hidungnya sedikit aneh mencium aroma kopi. Dan seperti ia dapat merasakan cairan kopi kental pahit nan menjemukan lidahnya langsung, padahal ia tidak mencicipi kopi mas Wira.

"Mas, bau kopinya kok nyengat banget?" tanya Nabila agak jijik dan menutup hidungnya. Mas Wira mengernyitkan kening.

"Nyengat gimana? Ini luwak white coffee biasa kok. Sasetan. Bukan kopi tubruk."

"Tapi baunya...hoeekk..." Seketika Nabila mual. Menghindari pantry, dia bergegas menuju toilet dan memuntahkan isi perutnya di wc. Makan siangnya ia keluarkan semua. Setelah mencuci mulut, wanita itu mengusap dahinya yang berkeringat. Tiba-tiba pusing sekali.

"Nab, kamu kenapa?" tanya mas Wira cemas di depan pintu kamar mandi. Nabila masih diam dengan wajah lesu, dan mas Wira yang mengerti segera menyingkirkan kopinya terlebih dahulu.

"Masuk angin kayanya. Tapi baunya kopi mas Wira nggak enak. Sengak gitu."

"Yaelah, Nab. Ini kopi doang, bukan bau badannya si Supri. Ada minyak kayu putih tuh di laci." canda mas Wira menyebutkan nama satpam kantornya sambil tertawa. Nabila mengabaikan guyonan itu dan mencari minyak angin yang dimaksud mas Wira. Setelah mencium aroma menenangkan aroma kayu putih segar, mual Nabila bersurut-surut menghilang. Dia dapat bernafas lega sekarang. Nabila melihat jendela yang memperlihatkan titik-titik air jatuh dengan brutal. Sepertinya hujan angin. Jangan sampai dia jatuh sakit. Suaminya sedang banyak kerjaan, nanti siapa yang mengurus Bram?

***

Tebakan Nabila meleset. Dia pikir hanya masuk angin. Tapi beberapa akhir ini, setiap pagi dia selalu mual. Dan pemicunya bukan lagi kopi. Dia duduk diam saja bisa langsung muntah. Makan nasi sedikit, keluar semuanya. Saat minggu pagi, Bram memergoki istrinya itu. Tengah berjongkok di depan wc sambil memuntahkan seluruh makanan semalamnya.

Dengan sabar dipijatnya tengkuk Nabila, mungkin wanita ini mau flu. Mengingat cuaca sedang tidak bersahabat akhir-akhir ini. Nabila selesai muntah dengan wajah pucat yang berantakan.

"Mau dikerokin?" tanya Bram polos membuat istrinya itu memandang Bram dengan sendu.

"Kayanya aku hamil deh, mas." sahut Nabila yang sukses memunculkan letupan lucu diperut Bram saat mendengarnya.

"Hah?"

Nabila mengusap wajahnya yang agak berkeringat karena menahan perutnya yang bergejolak.

"Tiap pagi mesti mual. Terus aku juga baru-baru ini inget kalau udah nggak mens beberapa bulan. Masa hamil?."

PERFECTLY IMPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang