Tiga puluh empat - DIAMOND

9.5K 876 64
                                    

A/N : Nggak usah nyanyi sunbright like a diamond ya :P

Typo?


***

"Ayo!"

Bram menarik tangan istrinya yang mendadak menegang dan dingin. Keduanya sudah berada di halaman rumah besar orang tua Bram untuk menginap diweekend ini. Nabila sedikit menahan tarikan suaminya dan terdiam. Matanya seperti tidak fokus dan sedih. Dalam hati Bram terasa pilu sekali melihat istrinya yang ketakutan dan hilang rasa percaya diri. Kalau benar ini ulah neneknya, Bram akan sangat lelah untuk melawan neneknya sekali lagi.

"Kenapa?"

Nabila beringsut dan menggeleng. Mukanya yang kecil dan cantik itu nampak pucat.

"Kamu takut sama oma?"

"Aku malu... Aku nggak bisa dibanggakan sama mereka..." bisik Nabila menunduk. Hampir Bram akan memeluknya tapi pintu utama sudah terbuka. Nyonya Miranda berjalan menghampiri.

"Kenapa nggak masuk? Makan malem udah disiapin di dalem. Yuk, Nab. Biar Bram yang bawa tas kamu. Bantu mama siapin piring." Nyonya Miranda menggandeng Nabila dengan gurat ceria khasnya. Mau tak mau Nabila terseret segera masuk ke dalam. Semurung-murungnya Nabila, dia tidak bisa mengunci diri di kamar karena sekarang ini bukan dirumahnya. Bram tersenyum berterima kasih pada ibunya. Walaupun Omanya menentang keras hubungan Bram, ibunya justru melakukan sebaliknya. Bram mengambil barang bawaannya dari mobil lalu menyusul masuk.

Di meja makan sudah lengkap makanan dan anggota keluarga. Opa, Oma yang langsung memasang wajah dingin ketika tahu cucu menantunya datang, Papa, Mama Bram dan Nabila yang menuangkan air putih.

"Opa sama Oma kok nggak balik-balik ke Bogor sih?" celetuk Bram langsung dihadiahi pelototan sinis Omanya.

"Ngusir kamu?"

"Cuman nanya. Biasanya Oma nggak betahan kalau nggak balik Bogor." Rumah kedua kakek nenek Bram memang berada di Bogor. Dan sudah lama juga Opa dan Oma menetap di Jakarta entah kenapa. Sejak Bram menikah malah tidak pernah pulang.

"Opa ada bisnis yang diurus disini, Bram. Bolak-balik sini males capek. Kaki nggak kuat." jawab Opa menengahi.

"Ya kalau capek ngapain buka bisnis disini. Sukanya ngabil resiko."

"Biar berguna hidup Opamu itu nggak diem aja dirumah. Nggak murung doang dirumah." jawan Oma pedas sambil melirik Nabila yang langsung terdiam. Bram menggigit bibirnya mendengar itu karena dia juga tahu bahwa jawaban Oma jelas ditujukan untuk istrinya.

Sabar, Bram, Sabar. Gue kudu sabar ngadepin orang tua satu ini.

Nyonya Miranda berdecak ikut kesal mendapati perkataan Oma.

"Ngomong apa sih, Oma. Udah duduk ayo makan. Nabila, suka apa? Ambil aja."

"Tambah kurus, Nab. Jaga kesehatan dong. Mumpung masih cuti kan?" tanya Papa Bram ikut khawatir melihat kondisi menantunya yang kurus kering tidak bersemangat. Nabila tersenyum masam.

"Iya, Pa. Makasih."

"Emang cutinya masih ada berapa hari?"

"Masih sebulan lebih. Jatahnya kan tiga bulan."

"Mending dibuat liburan lagi. Ngilangin setres. Jadi balik kantor udah fresh. Nggak inget kejadian kemarin kan." nasehat sang ayah bijak. Nabila tahu perkataan itu begitu tulus, mengharapkan Nabila supaya tidak bersedih lagi dan bisa move on dari kejadian yang menyedihkan. Tapi dia sama sekali tidak berniat liburan atau apapun. Bagaimana jika mertuanya tahu kalau dirinya merengek meminta cerai kepada suaminya? Dia tidak berani bilang. Bahkan tekad cerainya saja masih abu-abu. Dia ingin cerai dari Bram supaya suaminya itu bahagia, tapi dia juga terluka karena Nabila mencintai Bram yang selalu ada disisinya.

PERFECTLY IMPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang