Niat hati mampir untuk bertemu sang ibunda tercinta, kini nasib sial kembali dialami oleh Bram. Pagi ini sebelum ke kantor, Bram melajukan mobilnya menuju rumahnya dulu yang ada di daerah Jakarta Utara. Bukan alasan kangen masakan Mama atau tidak sengaja lewat daerah situ, tapi lebih tepatnya nitip cucian kemeja Bram yang bernoda kopi kepada Mama. Karena Bram sangat yakin bahwa tangan Mamanya mempunyai the magic touch. Ia tidak percaya pada jasa laundry apartemennya maupun lainnya. Ia hanya percaya Mama. Tapi sebelum niat itu terlaksana, bahu Bram harus merosot panik karena ada seorang lain yang mendahuluinya.
Nyonya besar Adijaya, alias Oma Bram sudah duduk di sofa nyaman sembari menyesap teh membuat Bram yang semula berteriak seperti bocah SD minta uang saku pada ibunya, langsung membisu.
"Om..Oma..kok bisa ada disini?"
Salah. Pertanyaan yang salah, Bram merutuki diri sendiri. Omanya itu mengkerutkan alis dengan tajam, tak suka akan pertanyaan cucunya tersebut. Apalagi tingkah kekanak-kanakannya.
"Kenapa? Nggak suka Oma disini?"
Bram salah tingkah. Lelaki itu menggaruk tengkuknya walaupun tidak gatal. Untung saja pertanyaan 'Kok Oma masih hidup?' tidak keceplosan. Bisa dikutuk miskin tujuh turunan dia.
"Bukan gitu, Oma. Cuma kaget aja mendadak kesini. Oma sendirian?" Bram menghampiri neneknya tersebut, mencium tangan keriput beliau dan duduk di sofa panjang.
"Sama Opa lah. Nemenin Opa mu reuni sama temennya yang banyak disini"
"Terus Opa mana?"
"Main golf sama temennya itu"
"Ooh.." Bram manggut-manggut. Mengingat kalau sejak dulu pria baya tersebut masih suka bermain golf sampai sekarang. Yah, walaupun Opa Adijaya itu sudah uzur, bukan berarti dia ketinggalan zaman kan? Lihat saja reuninya di padang golf. Olahraga yang hanya bisa dimainkan oleh orang berduit dan banyak waktu luang. Bram memang berduit, tapi ia tidak suka golf. Itu salah satu olahraga yang bikin mengantuk selain catur. Mending fitness. Selain efesien dijam kerjanya, juga efesien tempatnya.
"Umurmu sudah berapa, Bram?" tanya sang nenek membuyarkan lamunan Bram.
Mampus aku, cicit Bram dalam benaknya. Perasaannya mulai tidak enak jika sudah ditanya-tanya umur yang sudah tak patut dipamerkan ini. Pantatnya mulai bergeser-geser gelisah.
"Nggh.dua-sembilan. Kenapa..Oma?"
Sang Oma meletakkan cangkir tehnya di meja dengan anggun ala sikap ningrat. Matanya memicing galak kepada sasarannya membuat nyali Bram itu ciut. Astaga, ia datang di hari yang salah.
"Kapan dikenalin calonmu, Bram?"
Tuhkan. Sudah pasti nanya itu. Lebih tepatnya menyindir plus mendesak. Bram butuh pertolongan. Tapi walaupun ia menggunakan tenaga dalam berupa telepati, Mamanya yang dicari itu belum juga muncul. Padahal keringat dingin sudah mengalir di balik punggungnya karena intimidasi si Oma.
Bram menghembuskan nafas, mencoba menjawab dengan nada tabah dalam cobaan apapun.
"Belum, Oma. Sebentar lagi ya. Masih butuh waktu"
"Waktu sampai kapan? Sampai nggak nyadar umurmu tambah menua? Nggak malu kamu sama sepupu-sepupumu? Raditya anak Om Suseno yang masih umur 22 aja sudah ngelamar calonnya. Klo nggak nikah-nikah, yang malu bukan kamu doang, Bram. Mama Papamu, Oma juga. Masa keturunan ningrat ada yang nggak laku? Terus belum lagi bla bla bla..."
Siapapun tolong Bram. Rasanya bisa saja kuping Bram menjadi merah dan gendang telinganya seperti di gendangi pakai bedug masjid. Omanya itu walaupun sudah tujuh puluh lebih, bibirnya masih kuat untuk mencerewetinya. Apalagi kalau masalah calon. Ungkit-ungkit tidak laku lah. Darah ningratnyalah. Bram bicara sekecap saja, Oma bisa lebih dari berkecap-kecap. Mirip Dito.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomansaSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...