Dua puluh delapan - BEING SENSITIVE

11.1K 879 42
                                    

Typo?

Nabila masuk ke dapur dan melihat mbok Wati –pembantu mertuanya- tengah menyiapkan semua makanan untuk makan malam. Nabila dan Bram baru datang memenuhi undangan ibunya Bram untuk makan malam bersama. Lalu Nabila melihat meja dapur cukup berantakan. Piring-piring putih sudah diisi beberapa lauk tapi belum diangkut ke meja makan.

"Mbak, aku bantu ya?" sapa Nabila ramah membuat mbak Wati terkejut.

"Eh, nggak usah, mbak. Biar saya aja, ndak papa." tapi dikatai begitu Nabila malah tidak menurut. Dia mengambil capcay kuah di panci dan menyendoknya satu persatu ke mangkuk besar.

"Biar cepet lah dua orang." senyum Nabila membuat mbak Wati terenyuh. Memang sih, mbak Wati mendengar kabar kalau istri adennya itu baik dan ramah. Nyonya Miranda saja sudah berkali-kali memujinya didepan mbak Wati.

"Ini mbak aja yang bawa ke meja makan. Aku yang bersihiin dapurnya."

"Loh,loh. Aduh, mbak Nabila...ngerepoti. Jangan toh, mbak. Bersih-bersih itu kerjaan saya. Mbak Nabila kan tamu disini." tolak mbak Wati kebingungan. Setelah mengisi mangkuk besar dengan capcay kuah, Nabila mengambil kain untuk membersihkan meja dapur, tersenyum.

"Nggak papa, mbak. Lagi pingin bersih-bersih nih aku." ujar Nabila seraya menyingkirkan kulit buah yang berserakan di meja. Mbak Wati jadi merasa tidak enak. Dia mendekati Nabila dan memegang tangannya.

"Nanti saya dimarahin ibu, mbak."

"Nggak ah. Nanti aku yang bilang ke mama. Tenang aja sih, mbak." kekeh Nabila geli melihat wajah mbak Wati yang cemberut.

"Biarin aja sih, Wat. Kamu siapin meja makannya aja. Toh dapur ada yang megang. Harusnya jadi menantu itu bantunya dari dulu. Kok baru diundang baru datang." tiba-tiba suara tua oma Bram muncul. Nabila sedikit tertohok ketika mencerna ucapan oma yang sudah berdiri di ambang pintu dapur, masuk untuk mengambil air putih. Mbak Wati melihat kepala Nabila menunduk sedih. Mbak Wati ingin membela Nabila, tapi dia tidak berani melawan nyonya rumah yang paling berkuasa disini.

"Udah cepetan kerjain! Keburu malem nanti nggak jadi makan." perintah tegas omanya yang langsung berlalu. Nabila mendesah lesu. Dia hanya merasa kecewa sampai detik ini nenek dari suaminya tersebut masih tidak suka dengan dirinya. Komunikasi mereka buruk, padahal Nabila sangat ingin sekali banyak ngobrol dengan beliau. Hanya saja, belum berbicara, sudah kena sindiran. Ada saja masalahnya.

"Udah ,mbak. Nggak usah didengerin omongannya Oma. Oma kan kalau ngomong suka pedes." hibur mbak Wati mengusap bahu Nabila. Tapi yang dihibur sama sekali kehilangan senyumnya.

"Oma nggak suka sama aku, mbak." terang Nabila lirih.

"Nggak mbak aja kok. Oma itu emang semua nggak disukain. Saya juga sering digituin tapi udah biasa. Udah sepuluh tahun kerja disini nggak pernah dibaikin oma. Sabar ya, mbak." perkataan mbak Wati terasa sejuk dihati Nabila. Membuat dia sedikit bersemangat.

"Makasih ya, mbak Wati." Keduanya tersenyum dan Nabila kembali melanjutkan membersihkan meja.

"Kayanya anaknya mbak Nabila cewek deh." terka mbak Wati membuat Nabila tertegun.

"Maksudnya?"

"Itu, mbak suka bersih-bersih. Lihat berantakan dikit, langsung gercep buat bersihinnya. Biasanya kalau kaya gitu sih cewek mbak, hihihi."

"Masa sih?" tanya Nabila bingung. Dia baru pertama kali mendengar tanda-tanda seperti ini. Apa dia harus sering berkonsultasi kepada mbak Wati yang sudah bolak-balik melahirkan anak?

"Katanya sih gitu. Tapi saya dulu juga gitu mbak ngelahirin anak kedua. Anak kedua saya kan cewek. Ya gitu lihat kotor dikit, langsung nyapu. Piring kotor numpuk, langsung dicuci. Kaya kegerahan kalau nggak diberesin."

PERFECTLY IMPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang