Tiga puluh - KEPERGIAN

9.7K 761 48
                                    

Dimohon bersabar.banyak narasi,bikin cepet bosen,banyak dramanya :(

Aku gak sempet baca penelitian banyak banyak karena masih riweh a.k.a sibuk.jadi cuman baca sekilas doang.jadi untuk penjelasan medis dichapter ini klo ada yg salah atau keliru,yg tahu mohon dibenarkan ya teman teman.Enjoy it.

Typo?

***

Sore itu, Bram dan Nabila segera bertolak menuju rumah sakit dimana biasa Nabila memeriksakan kandungannya secara rutin. Bram mencoba menggeser duduknya merasa tidak tenang apalagi melihat raut serius dan seperti tidak percaya pada muka dokter Diana, yang tengah menatap usg yang menampilkan isi perut Nabila saat ini. Istrinya, menggenggam erat tangan Bram. Takut terjadi sesuatu dengan anaknya. Sudah bukan janin lagi. Melainkan calon anak mereka yang sudah hampir berparas seperti manusia.

"Ngerasa nggak ada gerakan sejak kapan, bu Nabila?" tanya dokter Diana masih fokus pada usgnya.

"Hari ini, dok. Kemarin masih ada, tapi nggak seenerjik biasanya. Nggak kenapa-kenapa kan dia, dok?" tangannya sudah mulai dingin. Bram dapat merasakan itu dan mengusap bahunya.

Dokter Diana berpaling kepada kedua pasiennya tersebut. Tersenyum sediki kecut membuat Bram semakin ketar-ketir.

"Bakal ada pemeriksaan lebih lanjut dulu ya, bu, karena saya masih belum bisa memastikan. Sementara bu Nabila istirahat dulu sebentar disini biar dibantu suster. Dan pak Bram, bisa bicara sebentar dengan saya?" ajak dokter Diana dengan mata melebar seakan memberi isyarat. Bram mengangguk kaku. Sebelum meninggalkan Nabila, dia menyempatkan untuk mencium keningnya sejenak supaya istrinya itu merasa tenang.

"Tunggu mas ya. Nggak papa, anaknya pasti sehat." bisik Bram disambut senyum sedikit khawatir dari Nabila. Lalu Bram keluar mengikuti langkah dokternya menuju ke sebuah ruangan. Ruangan itu bukan seperti ruangan kerja dokter pada umunya. Lebih privat dengan tanpa jendela, tanpa lemari, hanya satu meja bundar dan dua kursi. Seperti ruangan interogasi di penjara namun hanya lebih bersahaja.

Setelah keduanya duduk berhadapan, Bram dapat melihat wajah dokter Diana yang nampak berat. Tidak seperti diruang pemeriksaan tadi yang seolah ditahan-tahan.

"Ada apa, dok? Anak saya bagaimana?" tanya Bram tidak sabar lagi.

"Pak, apa istri pak Bram akhir-akhir ini makan-makanan yang dianjurkan untuk orang hamil? Atau tidak melakukan sesuatu yang berat?"

Bram nampak berpikir.

"Iya, dok. Makanannya teratur karena sudah nggak mual lagi. Dia juga makan makanan sehat."

Dokter Diana menghembuskan nafas. Menatap Bram dengan senyum getir.

"Mohon maaf sebelumnya, pak. Ketika tadi saya usg, bayinya...tidak bergerak. Denyut jantung tidak terdeteksi."

Seperti ada ribuan balok es disiramkan ke punggung Bram detik itu juga membuat hatinya mati rasa. Otaknya mendadak tidak bekerja dan lututnya seperti dilolosi. Apa dia salah dengar? Denyut jantung anaknya tidak ada?

"Bagaimana bisa...dok?" suara Bram memelan sinkron dengan kondisi syoknya. Dokter Diana paham itu. Dia hanya mengangguk pahit.

"Maka dari itu saya butuh izin bapak untuk memeriksa lebih lanjut istrinya. Diagnosa apa yang nanti muncul, penyebabnya apa nanti bisa kita prediksikan. Tapi mohon maaf sebenar-benarnya, pak. Kalau bayinya tidak ada pergerakan dan denyut jantung. Bayinya...sudah meninggal. Saya mohon maaf sekali."

Nafas Bram mendadak tersengal. Matanya secepat itu buram oleh air mata tanpa sadar. Merasa dia ingin berteriak tapi tidak bisa. Jantungnya sesak dan dia susah untuk bernafas. Bram menangis dengan isakan. Dia menutup mulutnya tidak kuat menahan kesedihan. Anak pertamanya. Anak gadisnya yang diberi oleh Tuhan, harus secepat ini pergi tanpa lebih dulu melihat kedua pengasuh di dunianya?

PERFECTLY IMPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang