Chapter Seventeen - Maximillian Winter

1.7K 109 13
                                    

   ..*..

Aku telah menangis bersama badai musim semi,
Terbakar dengan brutalnya musim panas,
Kini, mendengar angin yang meniup membentuk senar-senar pita,
dan Aku tau apa yang akan dibawa oleh musim dingin,
Memburu menyapu kekosongan,
dan taman-taman dibiarkan menggelap.
Mereka akan membawa pulang,
untuk berdarah dan membekukan.
Aku akan mencoba berbagai cara.
Tetapi,
Silet akan melukaiku,
Sungai-sungai membuatku basah,
Racun menodaiku,
Obat-obatan menyiksa membuatku kesakitan,
Tembakan tidak diperbolehkan,
Gas berbau tidak sedap,
Apa sebaiknya aku hidup dulu?

Air itu jatuh berderu bertemu lantai. Dibiarkan berputar dingin selaras dengan dingin hatinya. Mengenai kepalanya pertama kali lalu berjalan melewati punggungnya untuk setiap tetesnya. Air dingin itu berhasil membuka ikatan-ikatan ototnya yang rusuh menegang sejak kemarin malam. Hanya keheningan dan bunyi tetesan air berguyur yang terdengar. Sebastian menarik rambutnya keras dibawah lajuan air lalu mengusap wajahnya secara kasar. Laki-laki itu tak tau pasti, tak juga ingin tau perasaan yang menyeruak dan menguasainya sekarang adalah apa. Yang ia tau pasti adalah lebih separuh darinya telah dikuasai oleh amarah. Seperti bom yang masih berdetak dan berpacu perlahan. Setiap detiknya merupakan ketegangan yang luar biasa. Salah melangkah sedikit, ledakan kehancuran yang akan terjadi. Untuk saat-saat genting ini, tak ada yang berani memicu amarah dari Sebastian Renoires. Akan berbahaya.

Laki-laki itu mematikan keran air bewarna perak keemasan di hadapannya dan meraih handuk lalu melilitkannya ke pinggang. Dengan langkah jenjang ia menyebrangi lantai granit hitam dengan hiasan marmer putih meliuk megah berpijak dibawahnya yang berkilau samar dari sisa sisa cahaya yang lolos menerobos masuk. Sebastian menatap nanar kedepan, mempertajam seluruh indranya dikarenakan kondisi ruangan kamar mandi yang saat ini sengaja ia biarkan gelap. Hanya ada satu sumber cahaya dari lampu di dekat cermin raksasa yang dibiarkan menyala menyeruak remang. Ia tak butuh lampu, karna cahaya lampu hanya akan menusuk kepalanya lebih dalam lagi.

Laki-laki itu melangkah keluar dan kembali disambut oleh ruangan luas mewah juga gelap yang telah ia tempati beberapa bulan terakhir. Ya ruangan itu selalu dibiarkan redup oleh pemilikinya. Sebastian tak pernah mencintai cahaya, gelap adalah ia separuhnya. Ia menemukan ketenangan diantara hitam. Sebelumnya mansion ini tak pernah laki-laki itu gunakan untuk menetap lama, hanya digunakan sesekali ketika ia membutuhkan keheningan di antara jadwal ketatnya. Sebastian lebih memilih tinggal di salah satu penthouse miliknya ditengah kota secara itu jauh lebih flexibel dalam pembagian waktunya. Kedatangan Charlotte lah yang mengharuskannya kemari. Ia hanya mengikuti prosedur.

Sebastian kemudian terduduk di ujung ranjang dan memijat jarak antara kedua alisnya. Setengah tubuh bidang kekarnya berkilau oleh sisa-sisa tetesan air. Hembusan pendingin ruangan yang dibiarkan dalam kedinginan penuh bahkan belum sanggup membuatnya mengigil. Sebaliknya Sebastian malah menyukai ini, ini membuatnya kebas. Dengan kondisinya yang sudah cukup siap untuk membunuh, Mati rasa adalah hal yang paling tepat. Ia membutuhkan ini untuk menahannya tetap berada di dalam dermaganya. Kabut kelam tiba-tiba menguasai air wajahnya. Ia membatu menegangkan otot-otot rahangnya. Seperti bau murka dapat tercium dengan tajam. Pikiran Sebastian berlari liar menariknya kembali pada percakapannya saat di rumah sakit beberapa jam yang lalu.

24 jam sebelumnya..

"Spill." Hanya membutuhkan satu saja kata bagi Romeo untuk mendapatkan siknal izin dari Sebastian untuk dapat berbicara. Sedikit tidak lazim untuk Romeo; tangan kanan Sebastian mendadak datang tanpa konfirmasi terlebih dahulu dan menuntut perhatiannya kalau itu memang tidak diperlukan. Sebastian tidak bodoh, Itulah sebabnya ketika pria berambut hitam pekat dengan tubuh kekar tinggi hampir setinggi dan berumur sebaya dirinya, Ketika ia datang di tengah malam hanya perlu dengan sekali anggukan itu sudah menjadi pertanda bagi Sebastian sebagai Alarm. Tidak seperti seluruh kepala-kepala yang tuhan tahu seberapa banyak untuk 41 jam terakhir ini telah datang menjenguk Charlotte atau sekalipun hanya sekedar ingin berbicara padanya telah laki-laki itu abaikan. Bahkan untuk menghadirkan muka saja ia tak bersedia.

a Letter From Heaven - Sepucuk Surat Dari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang