Chapter Thirty Six - Charlotte

1K 44 21
                                    

..*..

      Ia telah terjaga untuk waktu yang cukup lama. Dini hari perlahan mengulur hingga pagi kembali bersinar mengembalikan warna. Setengah tubuhnya masih menyender pada senderan kepala tempat tidur. Alexei meniupkan cerutunya lambat. Sisa terakhir dari gelas alkoholnya telah lama habis menyisakan hangat membakar pada laju nadinya. Ia terdiam memaku disitu, kendati demikian pikirannya jauh melayang. Barulah ketika diruangan tertutup seperti ini kau akan menemukan sosok Alexei yang sesungguhnya. Apa yang tidak kau ketahui dari pria ini, bahwa ia juga adalah pria dingin yang sebenarnya lebih banyak diam. Udara ringan dan kesan jenaka yang mengelilinginya sehari-hari telah ia hentikan perannya. Jika Sebastian terlihat dingin, mengenalnya kau akan menemukan kehangatan. Ironisnya Alexei adalah kebalikan dari itu. Jika disisikan keduanya tak jauh berbeda sebenarnya. Hanya bertolak belakang dalam metode menyembunyikan perasaan.

Both broken in their own story.

Perempuan yang menemaninya semalam tak begitu penting untuk ia ketahui namanya. Sama seperti yang lain, ia tak lebih dari sekedar teman tidur saja. Malang perempuan itu bahkan tak berani mempertemukan kedua manik matanya pada Alexei ketika ia meninggalkan ruangan pagi ini. Sepatah katapun tak ada yang Alexei ucapkan padanya. Diamnya adalah pertanda pengusiran. Matanya terpejam ketika bulir air jatuh ke pipinya. Perempuan itu menghela nafas, nyatanya rumor tak selalu adalah ucapan angin belaka, ia baru saja membuktikan itu. Alexei tidaklah seperti apa yang terlihat. Hatinya juga tak dapat disentuh.

    Alexei menyisir rambutnya setengah frustasi,
"Damn it," ia mengumpat. Begitu sulitnya menyingkirkan wajah cantik sosok itu. Alexei tidak dapat lagi menghitung sudah berapa lama ia dihantui oleh senyumannya. Ia meraih gelas wiski pada nakas tempat tidurnya dan menemukannya kosong. Beberapa saat kemudian gelas itu telah berpindah tempat, menjadi kepingan pecahan bertemu lantai.

Jadi ini rasanya jatuh cinta dan tidak berdaya.

Mabuk berat Alexei ingin hilang. Alexei pikir dengan begini ia bisa menghilangkan rasanya. Tetapi mengapa bahkan dalam kondisi setengah tidak sadar ia masih bisa merasakan sakitnya. Ia menyalahkan takdir pada hidupnya. Berapi-api dengan amarah sesungguhnya ia tak mengerti. Mengapa cinta pertamanya harus jatuh pada hal yang salah. Perasaan menyesakkan yang berkelabat menusuk di dadanya kini, Alexei tak mengetahui cara menyingkirkannya. Tuhan tau begitu besarnya ia menahan dirinya. Menahan rasa terpendam yang seakan mendesak ingin keluar.

Mengapa, mengapa. Mengapa dari jutaan banyaknya wanita yang menduduki muka bumi, ia harus jatuh pada tunangan dari saudaranya sendiri.

Sebastian menerima gagang telfon yang diserahkan Valentin kepadanya. Sebastian tampak serius ketika menerima panggilannya. Ketika dalam mode bisnis ia tak pernah basa-basi. Percakapannya singkat tidak bertele-tele. Ketika selesai ia mengembalikannya ke Valentin.

"Jadi Rusia?" tanya Valentin.

Sebastian mengernyitkan dahinya lalu kembali duduk ke kursi. Memanasnya sengketa antara Rusia dan Amerika membuatnya cukup harus memutar otak untuk beberapa kali. Ketika dijatuhkan wewenang untuk memutuskan keterpihakan mana yang akan ia pilih sepertinya Sebastian tidak dapat melakukannya. Secara darah ia adalah orang keturunan asli percampuran dari Rusia dan Prancis. Disisi lain Amerika sudah cukup lama mejadi tempat tinggalnya yang ia jadikan sebagai rumah kedua. Belum lagi istrinya juga berasal dari sini. Dengan latar belakang seperti itu sejatinya Sebastian harus bersikap netral.

"Tidak." jawabnya.

"Lakukan pengiriman senjata ke Rusia sesuai persetujuan. Ramon akan mengurus masalah akomodasi angkutan yang sempat tersendat. Tak ada yang berubah, semua sesuai jadwal. Kau bisa meneruskan permintaan Amerika, pengirimannya juga akan dilakukan."

a Letter From Heaven - Sepucuk Surat Dari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang