Chapter Twenty - Penyiksaan

1.1K 70 10
                                    

..*..

   Ruang lengang segi empat berukuran sekitar 5 x 6 meter itu untuk sesaat berubah menjadi sunyi seakan terhenti mendadak. Sesaat setelah itu hanya ada suara pukulan keras dan bunyi nyaring dari kursi begitupun juga yang mendudukinya melayang terhempas secara dramatis terlempar ke ujung ruangan. Seperti baru saja di pertemukan dengan kereta yang melaju tubuh itu tersungkur membentur tembok kemudian meringkuk tersedu menahan sakit. Sengal-sengal nafasnya diantara isak tangis begitu bising di telinga Valentin dan sungguh membawa pening di kepalanya. "DIAM!" Bentak kasar laki-laki itu seraya melayangkan satu lagi tendangan kepada perut laki-laki muda di hadapannya itu secara bengis. Darah dari wajah laki-laki muda yang kini menjadi hampir tak dikenali itu mengalir pekat kepada lantai menyebarkan bau metalic kuat ke seisi ruangan. Kemeja putihnya yang kini juga bersimpah darah ikut serta mengalirkan merah kental melukis abstrak daratan. "KUBILANG DIAM!" lagi. Satu lagi tendangan melayang mencekik laki-laki muda itu dari nafasnya.

Valentin mendecak geram memandang sepatu hitam designernya yang kini berbekas jejak darah. "You, piece of shit!" desisnya kesal seraya melayangkan runtutan tinjuan ke wajah laki-laki muda itu dengan satu tangannya mencengkram kerah bajunya.

Teriakan suara erangan menahan sakit itu dapat terdengar nyaring mengisi ruangan cekam yang anehnya terasa sunyi.

Setelahnya, beberapa langkah berat terdengar dari luar petakan ruangan bergema mengisi tajamnya suasana ruangan itu. Valentin menghentikan serangan pukulannya, ia kemudian mendesis sekali lagi lalu menghempaskan kasar tubuh tak berdaya itu membentur kembali kepada lantai. Ia kemudian berdiri menegapkan kembali postur badannya seraya memperbaiki setelan jas miliknya yang kini berubah menjadi kusut.

Bunyi keras dari pintu baja yang dibuka membubuhi suasana itu makin dramatis saja.

"Go easy on that boy brauer." suara berat kini mengambil alih ruangan itu.

Valentin braurer menyinggungkan senyuman lebar pada atasaannya itu, "Tapi kenapa bos?" tanyanya dengan tawa kecil terdengar renyah, "Aku hanya sedang bermain dengannya.." Valentin kembali mengarahkan kedua matanya kearah tubuh tak berdaya itu dan tersenyum lebar, "Benarkan boy.. kau setuju denganku? kita sedang bersenang-senang?" candanya sinis kearah laki-laki muda yang tengah merinding, meringis kesakitan di dasar lantai.

Sebastian melangkah jenjang dengan tubuh tinggi perkasanya dan ikut tertawa berat, "Tsk, aku pikir kau terlalu keras kepadanya." kedua matanya yang tersembunyi di balik kaca mata hitam beredar menginspeksi ruangan, "Masih bungkam dia?" tanyanya seraya perlahan membuka jas hitam yang ia kenakan dan kemudian di serahkan kepada Romeo yang berada di sisi kirinya dengan eskpresi datar terlihat bosan.

Valentin mengangguk setuju, "Tampaknya ia masih mau bermain dulu Bos."

Tiba-tiba pintu besi itu kembali di buka oleh para pengawal penjaga di depan mempersilahkan satu lagi langkah dapat terdengar menggema.

Bunyi siulan panjang dapat terdengar,
"Oh.. c'mon guys! teganya kalian bersenang-senang tanpaku?"

Mendengar itu Valentin memutarkan bola matanya. Ia bahkan tidak sama sekali perlu melirik laki-laki dengan torehan sayatan pisau di bawah alisnya itu untuk mengetahui persis dari siapa pemilik sumber suara itu berasal.

"Santailah man..," ucap Xavier di sela tawa melihat kedua rekannya yang terlihat risih dengan kedatangannya. Ia menggosok pucuk hidungnya meski tidak gatal seolah sedang berpikir panjang, "Ew! ku tarik kembali kata-kataku, This party sucks!" serunya kemudian dengan kedua tangan melayang di udara. Sebuah senapan yang ia genggam pun ikut di pamerkan untuk semua mata yang memandang.

a Letter From Heaven - Sepucuk Surat Dari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang